Friday, December 29, 2017

ASSALAMUALAIKUM BEIJING!



Penulis: Asma Nadia
Penerbit: AsmaNadia Publishing House

Asma, Ashima, Ra adalah Asmara. Undangan baru beberapa hari selesai dicetak dan siap disebarkan, namun Dewa tidak bisa meneruskan ke tahap selanjutnya—pernikahan mereka batal. Semuanya terjadi begitu saja, sama sekali diluar perkiraan. Bukan karena Dewa tidak mencintainya. Mereka sama-sama terluka. Ini bukanlah akhir, justru baru permulaan (hal-hal yang tidak diharapkan yang lain).

Cinta sejati hanya mitos, keluhnya. Mimpi. Kisah pengantar tidur yang ditiup-tiupkan mereka yang belum pernah sakit hati. Semata dongeng penulis fiksi yang hanya mampu berkisah tentang romantisme murahan. Ya, cinta sejati itu hanya fiksi. (Halaman 76)

Asmara memutuskan menerima tawaran untuk menggantikan seniornya ke Beijing. Disitulah dia mengetahui cerita cinta Ashima yang konon melegenda di masyarakat Tiongkok, dari Zhongwen—teman barunya. Legenda itu mengisahkan Ashima dan Ahei yang saling mencintai, dan tentu saja berakhir tragis. Mungkin alurnya sengaja ditakdirkan seperti itu, agar berkesan, agar dapat menjadi bahan cerita di kemudian hari

Antisphospholipid Syndrome (APS) primer, sindrom yang akan selama ada di dalam tubuh Asmara, membuatnya rentan mengalami penyumbatan darah. Resikonya bermacam-macam (dan beganti-ganti), seperti stroke, serangan jantung, gagal ginjal, buta, tuli dan yang lain, tergantung bagian tubuh mana yang tersumbat. Hal yang paling berat bagi Asmara adalah, dia berisiko jika harus mempunyai anak jika ia menikah nanti. Bukan meragukan kekuasaan Allah, namun dia tidak bisa membayangkan laki-kali (suaminya nanti) hanya akan sibuk keluar masuk rumah sakit menemaninya berobat. Dan tentang mempunyai anak …  Namun, bukan Asmara jika sedih membuat dia berhenti menulis.

Kita tidak bisa menghindari takdir yang Allah berikan, tetapi bisa memilih cara bagaimana menghadapinya. (Halaman 242)

Sementara itu, Anita sudah tidak memiliki harapan lagi untuk menggantikan Asmara di hati Dewa, meskipun usia kehamilannya makin tua. Dia memutuskan mengakhiri hidupnya dengan meminum beberapa genggam obat-obatan.

Zhongwen, dengan berbagai kendala yang ada akhirnya memutuskan untuk pergi ke Indonesia. Asmara sadar, namun tidak mengingat apa pun setelah koma selama dua minggu. Selanjutnya, selama dua tahun dia rutin ke rumah sakit.

Sebagai informasi, buku ini juga difilmkan—ada beberapa bagian yang tidak sama dengan buku (kesamaanya sekitar 80 persen.) Seperti biasanya, aku lebih menyukai buku daripada filmnya. Namun keduanya sama-sama BAGUS.


Monday, October 30, 2017

JILBAB TRAVELER: Love Sparks in Korea


Penulis: Asma Nadia
Penerbit: AsmaNadia Publishing House

Merupakan novel pertama dari Asma Nadia yang aku baca—yang sebenarnya terbitan tahun 2015. Ketingggalan sekali, bukan? Hiks. Nama Asma Nadia sudah lama cukup akrab, tapi baru kali ini tergerak membaca novelnya. Sebelumnya aku pernah menonton film dari buku Assalamu’alaikum Beijing dan Surga yang Tak Dirindukan 1 dan 2. Awalnya aku enggan karena mengira bakal menye-menye, tapi ternyata BAGUS BANGET! Novel ini ditulis dengan alur mundur maju, yang sangat mengalir dan penuh kejutan. Banyak pelajaran dan pengingat di dalamnya. Terima kasih Bunda Asma, telah menulis dan menginspirasi.

Rania, adalah anak ketiga dan terakhir dari sebuah keluarga sederhana di pinggir rel kereta api Gunung Sahari. Rania adalah anak yang paling dekat dengan ayahnya—mungkin karena semasa kecilnya yang sering sakit-sakitan. Rania kecil suka berlari mengejar kereta api yang kebetulan melaju cepat sembari membayangkan dirinya dalam gerbong-gerbong yang membawanya terbang ke negeri dongeng—setidaknya begitu selalu kata papanya dengan yakin.

“Ketika kecil, kami tinggal di samping rel kereta api. Setiap kereta lewat, Papa selalu bilang suatu saat kereta-kereta itu akan menerbangkan saya ke negeri seribu kisah” (halaman 173)

Dan terbukti, tidak ada yang mustahil apabila Allah berkehendak. Rania yang harus berhenti dari kuliah karena masalah kesehatan telah menjadi penulis best seller dan berkesempatan menjelajah ke berbagai negara. Tentu saja ada masa-masa yang tidak mudah untuk Rania lewati. Ia penulis dan dia pernah melewati lebih kurang satu tahun tanpa menyentuh keyboard komputer sekalipun.

“Sepasang matanya akan dengan cepat mengembun setiap mengingat hal ini. Tetapi jika terus memikirkan penyakit, dia akan kehilangan kemampuan mensyukuri begitu banyak hal manis. Deret kebaikan Allah yang terus menyapanya detik demi detik. Di layar laptop, Rania menulis kalimat berikut dengan huruf capital: JANGAN ARAHKAN SUDUT PANDANGMU PADA SESUATU YANG BELUM TENTU BISA KAU LIHAT. ITU HANYA AKAN MELEMPARKANMU PADA KETERASINGAN DI MANA RASA SYUKUR HANYA SEBATAS DI UJUNG LIDAH.” (halaman 186)

Nepal, negara seribu Dewa menjadi titik awal pertemuannya dengan Hyun Geun—seorang traveler asal Korea setelah insiden pencopetan tas Rania. Nepal mengingatkan Rania akan dua hal, yaitu kejadian saat ia memecahkan magnet kulkas pamannya dan saat papanya meninggal.

“Bagi traveler, kehilangan sesuatu di perjalanan, pasti pahit, bahkan bisa merusak semua rencana yang telah disusun. Tapi keikhlasan akan membuat satu dua kehilangan atau peristiwa tak diinginkan—yang sangat mungkin terjadi—tak menguapkan semua keceriaan selama perjalanan.” (halaman 253-254)

Ternyata, pertemuan tersebut menjadi awal sederet pertemuannya dengan Hyun Geun, ketika akhirnya Rania memutuskan mengikuti program Writers in Residence selama enam bulan di Korea. Dengan kamera saku yang sama saat di Nepal, Rania mengeksplor Seoul—kota terbesar dan teramai di Korea. Rania yang sedikit belajar lebih banyak tentang fotografi sejak bertemu dengan Hyun Geun, mulai membenarkan saran yang dia terima untuk berganti ke DSLR. 

"But the camera is just a tool, Rania. It’s the eye of a person behind it that matters." (halaman 159).

Hinga kemudian, Ihsan–tetangga sekaligus sahabat Rania selama 8 tahun di Indonesia menyusul terbang ke Korea. Menyambung perjalanan dari bandara Incheon, Seoul dengan kereta cepat KTX ke Busan. Ini adalah pertama kalinya Ihsan naik pesawat—pesawat menjadi trauma tersendiri bagi Ihsan sejak mamanya meninggal dalam kecelakaan pesawat. Mengapa?

“Allah menciptakan manusia, sempurna dengan ketidaksempurnaannya. Alhamdulillah” (halaman 261)

Tuesday, October 17, 2017

MEMBERI JARAK PADA CINTA dan Kehilangan-kehilangan yang Baik


Penulis: Falafu a.k.a Farah Fatimah
Penerbit: Media Kita

Angin melewati batang-batang ringkih dandelion yang baru saja mekar sempurna. Mahkota bunga yang tipis satu demi satu hilang berterbangan mengikuti angin. Waktu berjalan dan tumbuhlah dandelion-dandelion baru dari benih yang dibawa angin itu. Lebih sering sebuah awal bermula ketika sesuatu berakhir. Kehilangan adalah salah satu episode dalam kehidupan yang tidak bisa ditolak. Namun, siapa yang tahu bahwa nantinya kehilangan membuka ruang pada hal lain yang lebih baik untuk datang dan tinggal.
Buku ini berisikan sekumpulan cerita, secara keseluruhan mengisahkan tentang awal sebuah kehilangan, saat kehilangan, setelah kehilangan, pengambilan jeda, kemudian proses penemuan dan pendewasaan. Isinya cukup menghanyutkan, rawan membuat baper. Waspadalah-waspadalah. Buku ini, dapat dibaca sebagai hiburan atau bahkan pembelajaran.
“Aku ingin mengatakannya juga kepadamu. Kepada siapa pun yang sedang ragu dan perlu kekuatan untuk terus berjalan—tetapi alasan baik mulai sulit untuk kamu temukan. Kepada kamu yang terus percaya, pada sesuatu yang mungkin tidak pernah dijanjikan siapa-siapa. Bukankah harapan, juga adalah janji yang biasanya coba kita beri pada diri kita sendiri? Maka peganglah janji itu kuat-kuat. (Halaman 22)
 “Tidak bisakah  mulai sekarang kita menerima kehilangan dengan cara yang lebih baik. Agar siapa pun yang pergi, bisa pergi dengan tenang. Dan siapa pun yang masih harus tertinggal, bisa terus melanjutkan hidupnya—tanpa takut menghadapi kehilangan berikutnya. (Halaman 49)
TIDAK, sekalipun telah berkali-kali, namun untuk kehilangan kembali tidak lantas menjadi mudah untuk disikapi. Kemudian harapan bersandar pada waktu—katanya time will heal (but not) everything.
“Saat kepergian baru saja terjadi, akan begitu sulit untuk melihat apa yang sesungguhnya hal yang sudah Tuhan persiapkan untukku. Karena mataku masih dipenuhi oleh genangan akan rasa kehilangan, Karena lenganku belum menemukan genggaman lain yang membuat langkah ini menjadi seimbang kembali. (Halaman 52)

Saturday, October 7, 2017

GERIMIS JATUH

Penulis: Mushonah Mujahidah
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Selagi hati masih menjadi komponen yang ada dalam diri manusia, cerita tentangnya akan terus mengalir. Sekuat apa pun usaha seseorang untuk menepisnya, perasaan akan tetap ada. (Tetes Kedua, hamanan 3)

Buku ini merupakan kumpulan cerita dan prosa yang terinspirasi dari kehidupan sehari-hari penulis. Percakapan seorang Ibu dan anak laki-lakinya, percakapan seorang ayah dengan anak perempuannya, percakapan seorang adik perempuan dengan laki-lakinya, percakapan seorang laki-laki dengan dirinya sendiri, juga percakapan seorang perempuan dengan dirinya sendiri. Ada hikmah yang berusaha diselipkan pada setiap bagiannya.

Pandanglah masa lalu sesekali, seperti spion, agar tidak jatuh pada kesalahan yang sama, tetapi tetap fokus ke depan. Belajar melepaskan, melepaskan tuntutan, emosi, target, keinginan yang menyita fokus pikiran dan hati. Melepaskan tidak akan mudah, karena berarti harus siap merelakan dan mengikhlaskan. Namun setelah itu, hati akan lapang. Belajar mendengarkan, sebab bukan kebetulan Tuhan menciptakan sepasang telingga dan mulut satu. Belajar berbahagia, dengan belajar mensyukuri hal-hal paling remeh sekalipun.

Jika kehidupan adalah seperti pelayaran menuju dermaga, tentu ada berbagai ukuran perahu dengan berbagai macam bahan. Ada yang terlihat ringkih seperti tak mampu bertahan dari apa pun. Namun belum tentu perahu yang besar dari bahan terbaik dapat bertahan. Ada Allah yang memampukan, menguatkan atau melemahkan.

Apa yang membuatku(mu) terus berdoa dan tak berhenti berharap? Karena hari esok akan datang, dengan segala kemungkinan terbaik, dengan segala jawaban atas pertanyaan-pertanyaan.

Tentang perempuan dan laki-laki. Keduanya adalah ujian satu dengan yang lain, sebelum akad. Perempuan adalah makhluk serius, hatinya seperti gelas kaca. Teruntuk laki-laki, jangan terlalu ramah. Laki-laki hatinya seperti bola basket, semakin tinggi jatuh akan semakin tinggi memantul. Namun, teruntuk perempuan, jangan terlalu baik. 

Kalian, jangan pernah bermain dengan asumsi dan janji, hingga kalian saling me(di)temukan.

Perasaan kita berdua laksana air dan api. Kita tidak bisa saling mendekat. Karena jika mendekat, kita akan saling menghabisi satu sama lain. Pada akhirnya melukai satu sama lain. Lalu, Tuhan memperkenalkan sebuah alat yang dapat mempersatukan perasaan kita. Namanya teko. Kita bisa saling bersinergi untuk menciptakan air hangat maupun panas. Namun selagi belum dipersatukan oleh teko itu, kita tetaplah asing satu sama lain (Jarak antara kita, halaman 51)

Monday, September 18, 2017

SURABAYA (Bagian 1)

Rabu, 16 Agustus 2017

Akhirnya aku memutuskan untuk jalan-jalan (atau lebih tepatnya kabur) ke Surabaya. Cukup impulsif, dan mungkin bukan keputusan yang tepat mengingat Surabaya bukanlah destinasi prioritas untuk jalan-jalan. Selain itu, berpergian ditengah penyusunan laporan triwulanan ternyata cukup menyita pikiran dan energi—dimana harus lembur lebih kurang empat hari sebelumnya agar bisa kabur dengan tenang (tapi realitanya tidak juga). Hahaha. Namun demikian, tidak salah pergi ke Surabaya, karena di Surabaya aku bertemu dengan teman-teman terbaikku. Kata orang sih bukan kemana-nya, tetapi dengan siapa-nya.

Aku berangkat dari kantor cukup mepet, ditambah sedikit bermacet-macet di jalan, aku terpaksa harus berlari-lari agar tidak terlambat masuk ke gerbong. Aku duduk di gerbong nomor 6, kursi 3B. Untuk kereta Bangunkarta, kursi duduk tersebut relatif strategis, karena tidak terlalu dekat dan terlalu jauh dengan toilet dan pintu keluar. Selain itu, gerbong nomor 6 juga cukup dekat dengan resto—seumur-umur naik kereta aku belum pernah ke resto. Kereta juga menyediakan selimut, meskipun saat itu AC-nya tidak terlalu dingin. Sayangnya, tidak ada meja lipat di kursi duduknya, sehingga agak menyulitkan ketika mau makan atau kerja (ditulis dengan huruf kapital, bold dan underlineKERJA”). Akhirnya, pukul 15.00 WIB persis keretaku berangkat.

Di sampingku duduk seorang bapak-bapak, kalau tidak salah ingat namanya Sumarno. Dari apa yang dibicarakan, aku yakin beliau bukanlah sembarang orang. Kami membicarakan mulai dari Bapp*nas, berita-berita terkini (wuih terkesan up to date yak), sampai agama. Sayang sekali, aku tidak jadi meminta bertukar kontak dengan beliau. Terlepas dari latar belakang beliau, hal yang cukup terus aku ingat adalah pikirane kudu resik, niate apik, lakune becik¸(pikirannya harus bersih, niatnya bagus dan perilakunya baik) agar bahagia. Falsafah hidup yang sederhana, tidak muluk-muluk, tetapi tidak mudah untuk dipraktikan.

Kamis, 17 Agustus 2017

Singkat cerita, setelah menghabiskan lebih kurang 12,5 jam di dalam kereta dengan mengobrol, tidur, dan mati gaya, akhirnya pukul 04.00 WIB aku sampai di Stasiun Gubeng, Surabaya. Setelah sholat Subuh dan tidur beberapa jam di kostan temanku, Ima, yang terletak di Jalan Embong Kenongo, sekitar pukul 09.00 WIB kami berdua bersiap berangkat ke Malang. Tujuan kami adalah ke Masjid Tiban Malang, konon disebut masjid tiban karena masjid yang megah dengan sepuluh lantai tersebut tiba-tiba berdiri di tengah pemukiman warga. Menurut beberapa sumber, masjid tersebut sebenarnya adalah pondok pesantren yang dibangun secara bergotong royong swadaya oleh santri dan jamaah, sehingga tidak banyak pihak luar yang mengetahui proses pembangunan masjid tersebut. Masjid berlokasi di Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Malang atau dapat ditempuh sekitar 5 jam dari Surabaya dengan mobil.

Lokasi masjid dapat terdeksi oleh google map, walaupun memang agak “masuk”, sehingga kami harus bertanya kepada warga. Warga sekitar menyediakan tempat parkir kendaraan, meskipun ternyata di dalam komplek masjid juga tersedia. Dari lokasi parkir warga, kami berjalan sekitar 50 meter atau sekitar 5 menit. Di sepanjang jalan, berjajar pedagang berbagai makanan kecil dan oleh-oleh, dengan harga yang relatif sangat terjangkau. Kami agak terkejut, ketika di tengah jalan seorang anak kecil yang menawarkan plastik untuk tempat sepatu kami saat memasuki masjid dengan harga yang sangat murah, lima ratus Rupiah!


Penampakan masjid tersebut adalah perpaduan antara gaya Timur Tengah, Tiongkok dan modern. Tampak bagian depan masjid adalah ornament Timur Tenggah dengan warna dominan biru dan putih. Di bagian dalam lantai dasar masjid terdapat banyak sekat ruangan, dengan berbagai peruntukan. Misalnya mushola, tempat wudhu, tempat istirahat, kolam yang terpisah antara putra dan putri; ruang tamu; ruang akuarium dan sebagainya. Menurut beberapa sumber, lantai satu dan empat digunakan sebagai tempat kegiatan para santri; lantai enam sebagai ruang keluarga; lantai tujuh dan delapan sebagai tempat toko-toko cinderamata yang dikelola santri.

Pengunjung yang datang dapat langsung ke dalam masjid untuk mencatatkan diri dan mengambil kartu tamu. Kartu tersebut nanti harus dikembalikan ketika akan meninggalkan masjid. Mungkin kartu tersebut lebih difungsikan sebagai pendataan saja, karena pengunjung tidak perlu membayar (tetapi boleh kalau mau berinfak).

Secara keseluruhan bagunan masjid masih belum sepenuhnya selesai, lebih kurang sekitar 40 persen masih dalam pengerjaan. Seperti pada kebanyakan masjid yang lain, di dalam masjid sangat adem, dari lantai dasar sampai lantai atas. Kami menghabiskan waktu lebih kurang tiga jam untuk sholat, berfoto dan mengelilingi masjid.

Menjelang sore, kami memutuskan untuk kembali ke Surabaya dengan sebelumnya mampir ke Bakso Bakar Pak Man yang lokasinya tepat di pinggir jalan, apabila tidak salah di Jalan Diponegoro. Bakso Bakar Pak Man merupakan salah satu kuliner yang direkomendasikan beberapa sumber yang wajib dicoba bila sedang berkunjung ke Malang. Tempat berjualan yang digunakan tidak terlalu besar dan relatif sederhana, namun pada saat itu sangat ramai. Selain bakso bakar, juga disediakan bakso kuah, namun hanya disediakan satu jenis minuman yaitu teh bot*l sos*o. Pada waktu itu, stok tehnya sempat kehabisan, maklum bakso bakarnya pedas.Hahah

Selesai makan, kami tidak bisa berlama-lama di sana karena sudah ada yang mengantri tempat duduk. Akhirnya, kami memutuskan untuk pulang, tetapi sebelumnya mampir membeli sempol—aku lupa dimana. Sempol itu adalah semacam siomay kecil-kecil yang ditusuk seperti sate, lalu digoreng setelah sebelumnya dicelupkan ke dalam telur. Harga untuk satu tusuknya adalah lima ratus Rupiah. Kami masing-masing membeli sepuluh tusuk, dan ternyata mengenyangkan.


Oh iya, kami juga mampir ke Malang Strudle. Itu lho, leholeh khas Malang punyanya Teuku Wisnu. Kami membeli beberapa macam keripik buah, bukan strudel. Perilaku antimainstream yang agak gevleg sih sebenarnya. Hahah

Sunday, August 13, 2017

AWE- INSPIRING ME

Penulis: Dewi Nur Aisyah
Penerbit: Imprint Penerbit Serambi

Sungguh Allah memberikan kebahagiaan melalui banyak jalan. Melalui banyak kisah (halaman 149).

Mendengarkan dan membaca kisah hidup orang lain, ternyata membuat mata hati terbuka lebih lebar dalam melihat, memahami, menjalani dan memaknai kehidupan. Semakin banyak cerita yang disimak, semakin menjelaskan bahwa hidup tidak lain kecuali untuk disyukuri, terlebih dengan nikmat iman dan Islam.

Dua kata dan dua frasa untuk buku ini, luar biasa dan sangat bermanfaat!

Aku yakin tulisan dalam buku ini, muncul dari sosok yang cerdas, tegas, kuat tetapi lembut penuh kasih sayang. Buku ini bisa menjadi teman, yang membagi hal-hal penting dalam kehidupan, dan mengingatkan ketika lupa karena disibukan oleh banyak hal. Secara garis besar, menceritakan tentang personal branding seorang muslimah, yang salah satunya adalah untuk berprestasi (menginspirasi) dalam konteks luas. Seorang muslimah harus mempunyai cita-cita setinggi mungkin, menyusun rencana, dan menentukan waktu kapan berbagai rencana tersebut harus segera tereksekusi sebagai bagian dari ikhtiar. Juga dijelaskan, bagaimana ketika ikhtiar belum bertemu dengan takdir, yang orang pada umumnya menyebutnya dengan kegagalan.

Adalah masa ketika kita terjatuh perih, tergores luka, menyisakan perih dalam dada. Sat kita begitu kecang berlari dan terpaksa harus berhenti karena tersandung kerikil-kerikil ujian dan duri.” (halaman 122)

Adalah masa ketika kita merasakan begitu beratnya menanggung letih perjuangan, terseok berjalan dalam panjang tapak kehidupan. Tertatih melangkah dan terus bertahan. Seakan hati kecil menanyakan, “kapankah ini semua harus berakhir dan terbayarkan?” (halaman 122)

Adalah masa ketika doa dan permintaan kita tidak dikabulkan. Guratan kekecewaan seketika datang menelisip ke dalam kalbu yang perih menahan tangis. Terasa begitu pedih dan enggan untuk menengok kembali. Seakan cahaya dunia telah redup berdasarkan terkuburnya cita dan asa.” (halaman 122)

Bahasan pada bagian itu, nyes banget, mengena di hati. Siapa sih yang tidak sedih dengan kegagalan, ketika yang diharapkan belum sesuai dengan keinginan. Bukan hal yang mudah agar dapat sabar, tetap yakin kepada Allah, dan optimis. Kak Dewina, izin kutip ya.

Sungguh hanya Dia yang mampu memahami perihnya luka, pedihnya rasa, dan munajat khusyuk doa-doa. Allahu Qawwiy, kuatkan ya Rabb..kuatkan hati ini tatkala penantian akan pertolongan-Mu menyisipkan ragu dalam diri.” (halaman 123-124)

Kegagalan ternyata adalah cara Allah memberi tahu bahwa manusia sejatinya lemah dan kecil, tanpa Allah yang memberi kekuatan dan pertolongan. Kegagalan jelas menjelaskan bahwa Allah tidak membutuhkan manusia, tapi manusia-lah yang membutuhkan Allah.

Dalam buku tersebut dituliskan kisah salah seorang teman penulis, sebagai berikut. “Selama ini, saya menganggap bahwa jika kamu mau hasil terbaik maka berikhtiarlah yang terbaik. Hal itu menjadikan saya bertanya-tanya jika saya telah merasa melakukan yang terbaik dan tidak mendapatkan yang terbaik maka saya menggugat keadilan-Nya dan arogan bertanya alasannya. Padahal, bukankah itu hak prerogative Allah SWT yang menentukan apa pun yang Dia mau.” (halaman 146)

Tersebutlah seorang hamba yang terkejut melihat gunungan amalnya, merasa tak memiliki amal shalilh sebanyak itu selama hidupnya, bertanyalah si hamba,” Ya Allah, amal sholeh yang mana yang menciptakan gunungan pahala setinggi itu?” Terjawablah tanyanya,” Sesungguhnya itu adalah pahala hasil doamu yang tidak Aku kabulkan.” Si Hamba masih ternganga dan berkata,” jika begitu, aku sungguh berharap tak ada doaku yang Kau kabulkan.” (halaman 147)

Dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana mendekatkan diri kepada Allah dan juga cara mengelola hati. Satu lagi, dalam buku ini terdapat panduan dan simulasi untuk menyusun rencana (target-target) hidup, dari tahunan sampai harian.

Terakhir, mengutip dengan perubahan: kehadiran muslimah menjadi penyejuk bagi dunia, saat iman menjadi muara jiwa, takwa menjadi pakaian dan salihah menjadi penghias akhlak.

Sekarang aku menjadi berkesimpulan bahwa, cita-cita terbaik seorang wanita adalah menjadi shalihah.

Wednesday, August 2, 2017

GARIS WAKTU


Penulis: Fiersa Besari
Penerbit: Mediakita

Sebuah garis minimal terdiri dari dua titik, titik awal dan titik akhir. Berawal bulan April tahun pertama dan (dianggap) berhenti pada tahun kelima bulan yang sama. Setidaknya butuh waktu kurang lebih lima tahun bagi Bung (sapaan Fiersa Besari) untuk dapat menarik benang merah perjalanan hidupnya selama tahun-tahun itu, yaitu mengikhlaskan. Aku mengasumsikan tokoh pertama dalam buku itu adalah Bung, sebab ditulis dengan menggunakan sudut pandang orang pertama.

Hampir enam puluh purnama. Ada harapan, penantian, pengorbanan, perjuangan, perjalanan, kekecewaan, luka, kesedihan yang diiringi dengan ketegaran dan canda tawa dan diakhiri dengan keikhlasan. Terbaca, bahwa dibalik ketegarannya, di belakang kebijaksanaannya mencari dan mengambil hikmah pada setiap pelajaran kehidupan, Bung membiarkan sisi manusiawi dalam dirinya tetap hidup. Bung tetaplah manusia biasa yang bisa jatuh, membiarkan diri jatuh, menikmati sakitnya jatuh, kemudian berusaha berdiri dan berjalan, dan semoga bisa berlari—menyamakan langkah dengan waktu yang tidak mau menunggu saat ia berhenti.

Sebelum bulan April tahun pertama, kehidupan Bung berjalan teratur sebagaimana mestinya, pada titik demi titik keseimbangan, garis pareto optimum. Hingga kemudian dia bersinggungan dengan garis lain.

Cinta selalu bersemi di tempat, waktu, dan situasi yang tidak terduga. Ia laksana mentari di tengah temaram; hijau diantara gersang. Cinta tidak pernah datang dengan tiba-tiba; ia akan mengendap-endap menyusup ke urat nadimu, meledakkan jantungmu, lalu meninggakanmu terbakar habis bersama bayang-bayangnya (halaman 16).

Hati Bung tanpa izin sudah memilih. Kalau sudah begitu, yang perlu dilakukan adalah mengucapkan selamat datang dan menikmati roller coaster drama kehidupan. Dengan cinta, hidup menjadi drama, lebih hidup. Cinta adalah kekuatan yang cukup besar, mengubah benci menjadi suka, mengubah pelit menjadi dermawan, mengubah sedikit menjadi banyak, mengubah jauh menjadi dekat, atau sebaliknya. Namun cinta hanya bisa mengubah rasional menjadi irrasional, bukan sebaliknya. Meskipun demikian, cinta tidak pernah salah, dan bagaimana kita membawa diri saat jatuh pada cinta pun tidak salah--walaupun selamanya tidak selalu benar. Cinta adalah anugerah, walau entah bagaimana ia berakhir.

Berbulan, Bung menunggu si dia dengan sabar, dia yang datang ketika terluka, dirundung sepi atau dalam masalah. Bung dengan sabar pula mengobati, menemani dan membantu, atas nama kepedulian pada awalnya. Kemudian dia pergi kembali bersama orang lain, dan Bung hanya diam dan berdoa dengan perasaan yang tidak bisa dideskripsikan. Sekarang katakan, perasaan macam apa itu?

Rasa adalah anomali yang tidak bisa diprediksi. Rasa bisa datang dan pergi kapan pun dia mau. Rasa bukanlah sesuatu yang porsinya harus sama. Kadang, rasa yang kau beri tidak berbanding lurus dengan rasa yang kau terima. Maka, ketika rasa untukmu pergi, berhenti bertanya kenapa itu terjadi. Ubah apa yang masih bisa diubah, lepaskan apa yang sudah tidak bisa diubah. Bumi tidak pernah berhenti berputar ketika kau memilih untuk berhenti melangkah (halaman 177).

Berbulan setelahnya, dia datang kembali, tentu saja dengan luka, sepi dan masalah. Dan, Bung masih saja tidak beranjak jadi ruang tunggunya. Oh, Bung! Kemudian, seolah doa Bung terjawab, mereka, Bung dan si dia, mencoba berjalan dengan tujuan yang sama. Mereka mulai berbagi, walaupun entah siapa yang memberi lebih banyak dan siapa yang menerima lebih sedikit. Dia mungkin tidak tahu, bahwa Bung mencintainya dengan cara sederhana yang tidak biasa. Tidak percaya? Baca saja bukunya.

Ternyata ini bukan akhirnya, tetapi cukup untuk menjadi akhir. Bukan tidak cukup, tetapi cinta Bung mungkin belum menemukan tempat yang seharusnya. Karena, siapa sangka, si dia untuk kali berikutnya menghilang. Dan sudah bisa diduga, untuk kesekian kalinya dan yang terakhir, si dia memutuskan untuk berhenti, dan menikah. Dengan siapa?

Akhirnya, pada bulan keempat tahun kelima, Bung benar-benar benar. Bung pun ke gunung, menemui semesta, dari puncaknya jalan terjal yang telah dilalui sudah sama sekali tidak terlihat menyakitkan, meskipun bekas-bekas lukanya tetap ada.

Suratku ini telah tiba pada ujungnya. Ada lara, tawa, kecewa serta cinta yang kutumpahkan di dalamnya. Rangkaian emosi datang silih berganti, hingga akhirnya tersemat sebuah keikhlasan (halaman 205).

Sunday, June 11, 2017

Fantasy


Aku berdiri di tengah arus manusia yang menyemut dengan langkah bergegas keluar dari gerbong kereta Shinjuku Line.

Fantasy, ditulis oleh Novellina, mengisahkan tentang cinta dan persahabatan. Novel setebal 310 halaman tersebut, menggunakan alur mundur-maju dengan sudut pandang orang pertama dari dua tokoh utamanya, yaitu Davina dan Armitha. Keduanya bersahabat erat sejak duduk di bangku SMA. Mitha sangat cantik, berambut panjang sepunggung, bergigi kelinci, dan bermata lebar dengan bulu mata yang super tebal. Berbeda dengan Vina yang cenderung cuek dengan penampilannya, meskipun pada dasarnya ia cantik dengan darah Belandanya itu. Vina terlalu malas bahkan untuk sekedar menyisir rambut, namun dalam urusan akademis Vina dapat diandalkan.

Cerita berawal ketika Awang menemui Vina yang sedang asyik membaca supernova di perpustakaan, ia meminta dikenalkan dengan Mitha. Awang menyukai Mitha, tetapi entah mengapa Awang lebih nyaman dan terbuka dengan Vina. Mitha sempat curiga kalau Vina menyukai Awang, tetapi Vina bukanlah sahabat yang egois.

“Aku berharap Awang berhasil membuat Mitha menyukainya. Aku menyukai mereka berdua. Awang sangat menyayangi Mitha dan aku ingin seseorang yang terbaik untuk sahabatku.” (halaman 35)

Namun hati bukan tidak berubah, seberapa kuat pun dikontrol ia akan bergerak mengikuti alur jalannya. Kemudian, hati-hati yang ditakdirkan untuk saling melengkapi, akan saling mencari dan menemukan. Begitupula dengan Awang, tidak ada yang menghendaki ketika pada akhirnya perasaan Awang berubah haluan di saat Mitha benar-benar jatuh hati padanya, pun dengan Vina.

“Aku juga tidak tahu bahwa Awang selama ini adalah udara bagiku, alasan mengapa aku melakukan banyak hal akhir-akhir ini. Aku juga tidak tahu bahwa Awang adalah seluruh panca inderaku, ia menuntunku menjadi manusia yang lebih baik, bukan hanya Mitha, seorang anak SMA biasa.” (halaman 124)

Cinta memang ajaib, diakui ataupun tidak, Mitha yang sebelumnya sama sekali tidak tertarik dengan musik klasik menjadi sangat bersemangat mendalami piano, karena Awang. Mereka berdua mendaftar sekolah musik milik pianis yang sudah berkiprah di kelas internasional, Fantaisie Music School. Awang dan Mitha beberapa kali menjadi patner saat melakukan showcase, hingga pada akhirnya Awang memutuskan untuk mengambil beasiswa sekolah musik ternama di dunia, yaitu di Tokyo University of Arts. Tentu saja, Awang meminta persetujuan Vina lebih dahulu, dan dengan berat hati Vina mengiyakan keinginannya tersebut. Mitha tidak habis pikir dengan keputusan Vina.

"Kamu tahu mengapa persahabatan kita sangan berbeda dengan persahabatan orang lain? Karena Tuhan sudah menggariskan jalan hidup kita. Bahwa kita akan menyukai laki-laki yang sama. Laki-laki yang memasuki kehidupan kita secara bersamaan, dan Tuhan memberi kita hati yang besar, dan sedikit hormon sehingga kita tidak akan pernah bertengkar memperebutkannya.” (halaman 125)

“Aku berbeda dengan Vina, Hati yang besar hanyalah sebuah penyiksaan diri. “Kenapa kamu membiarkannya pergi jika kamu sangat mencintainya?” Because I love him so much and it hurts.” (halaman 125)

“Suatu hari aku akan bertemu dengannya lagi, entah hanya untuk mengucapkan selamat tinggal lagi atau bersama kembali. Hari itu akan datang. Hari di mana kita kan menjalin takdir kita dengan takdirnya lagi. Love doesn’t conquer all, faith does” (halaman 127)

...

Tujuh tahun kemudian, yaitu pada tahun 2012. Semuanya berubah. Mitha menjadi sangat membenci Vina. Baginya Vina adalah peruntungan buruk, Vina telah menghancurkan semua mimpi-mimpinya. Kecelakan itu, terjadi empat tahun yang lalu telah membuat Mitha lumpuh, terlihat menyedihkan—setidaknya anggapannya bagi dirinya sendiri. Mitha enggan bertemu dengan orang lain, terutama Vina yang seolah menghasihani ketunaannya. Selama itu pula Mitha mengurung diri di dalam kamar.

Sementara itu, Vina yang saat itu bekerja pada sebuah lembaga pers sudah kehabisan cara bagaimana menghidupkan kembali semangat hidup sahabatnya, yang menolak mentah-mentah menemuinya. Untuk itulah, dia terbang ke Tokyo, menemui Awang, untuk Mitha.

“Tidak ada yang lebih menyedihkan selain saat seseorang kehilangan harapan. Ketika seseorang bahkan tidak sanggup memimpikan sesuatu. Kupikir aku tidak akan berhenti berharap, dan akan baik-baik saja selama itu. Kupikir aku tidak akan pernah putus asa. Namun ketika menatap diriku sendiri, aku tidak bisa mengenali diriku lagi” (halaman 133)

Pada puncaknya, dengan bantuan Awang dan rekannya, Mitha kembali bermain piano bahkan mengikuti kompetisi internasional, menjadi salah satu kompetitor Awang, sesuai janji mereka berdua saat masih SMA. Keduanya berhasil memasuki babak final. Saat itu pulalah, kebencian Mitha kepada Vina mencapai puncaknya.

“Ternyata kamu tidak pernah berubah. Tidakkah kamu sadar semua orang telah berubah? Mitha yang kamu kenal sekarang bukan Mitha yang kamu kenal dulu.” (halaman 215)

“Aku menjahuimu karena aku muak dengan kenaifanmu, dengan kamu yang selalu berusaha membantuku keluar dari kesulitan hidupku, dan merasa mengetahui apa yang paling baik untukku dan bertidak seperti malaikat tanpa kuminta! Dari awal kamu hadir dalam hidupku untuk merusak kebahagiaanku. Kamu merebut Awang dari dariku, membiarkannya pergi dari sisiku delapan tahun lalu, dan membuatku lumpuh. Tidakkah semua ini cukup menyadarkanmu untuk pergi dari kehidupanku?” (halaman 216)

Pada saat yang bersamaan, dalam kondisi di mana cinta Mitha pada Awang yang sangat tidak terkendali dan Vina yang meragu antara berkorban untuk sahabatnya atau memperjuangkan cintanya, tanpa disadari Awang memberikan cintanya pada dua orang yang pernah bersahabat tersebut, meskipun dengan proporsi yang berbeda. Mereka harus memilih.

“Aku tertegun. Walaupun aku tahu jauh di lubuk hatinya, Awang sangat menyayangi Mitha, ketika mengetahui jika mungkin saja Awang mencintai Mitha, aku tidak siap menerimanya.” (halaman 277)

“Karena aku tidak ingin kehilangan Awang lagi, Mit,”potongku dingin” (halaman 278)

“Pilih, Awang. Kamu nggak bisa memiliki kami berdua sekaligus, “kataku akhirnya dan Mitha sekali lagi menyambutku dengan tawa menghina.” (halaman 281)

Bukan, ternyata bukan mereka yang memilih, tetapi takdir…

Tuesday, June 6, 2017

Doa

Di atas sana (mungkin) Tuhan sedang tersenyum, teduh memandangi mereka yang sedang  khusyuk terduduk bermunajat.
Sebagian dari mereka melantunkan pujian syukur.
Sebagian dari mereka memohonkan kekuatan dan keteguhan.
Sebagian dari mereka berpasrah diri, tidak tahu harus apa dan bagaimana.
Dalam doa.

Tuhan kembali tersenyum, kemudian menjawab doa mereka.
"Iya, boleh" untuk sebagian mereka,
"Iya, boleh tapi yang lain" untuk sebagian yang lain,
"Iya, boleh tapi tidak sekarang" untuk yang lainnya.

Kemudian, sebagian dari mereka masih tetap berdoa--tetap bersabar atas jawaban doa yang belum sesuai dengan pengharapan atau tetap berusaha mengumpulkan doa demi doa untuk mengetuk pintu-pintu langit.
Sebagian dari mereka lupa untuk tetap berdoa--(mungkin) doa telah terjawab atau justeru menyerah mendoa.

Sementara itu, di waktu yang sama, yang juga tidak luput dari penglihatanNya, adalah mereka yang sedang lupa.
Sebagian dari mereka sedang bersuka ria, dan sebagian yang lainnya sedang gundah gelisah.

Sekali lagi Tuhan tetap tersenyum, bersabar menunggu mereka ingat pada-Nya.
Tangan-tanganNya terbuka lebar, bagi siapa saja yang ingin datang dan berpeluk.
Sangat bersabar menunggu.

Adakalanya bila rinduNya tidak tertahan lagi, Tuhan akan menyapa mereka dengan sapaanNya yang lembut.
Namun apabila rindu tidak terindahkan, Tuhan memiliki cara terbaik untuk meyampaikan rinduNya.

Tok-tok-tok
"Duhai hati tidakah kamu merinduKu?
Tidakkah kamu ingin berdekat berpeluk denganKu,
sementara Aku amat sangat merindukanmu?"
(Mungkin) di saat itulah sebagian dari mereka merasa hatinya hancur, atau minimal, tidak lagi utuh.
Bagaimana tetap bisa utuh manakala hati diketuk dengan rindu dan cemburu?

Sunday, June 4, 2017

Perpustakaan Umum Provinsi DKI Jakarta

Bagaimana kabarmu? Bagaimana kabar Ramadhanmu? Semoga semangat untuk beribadah dan belajar (apapun) senantiasa terjaga. Sudah lama ingin menulis, namun sayangnya apa yang semula mau ditulis dengan cepat menguap ketika sudah duduk dan membuka notebook. Apapun, ternyata membutuhkan perjuangan dan kesabaran ya.

Akhirnya! Akhirnya bisa menulis lagi, dan yang paling penting adalah hari ini berhasil berkunjung ke salah satu perpustakaan, di Jakarta. Setelah hampir 21 bulan di Jakarta, akhirnya terealisasi! Hari ini aku ke Perpustakaan Umum Provinsi DKI Jakarta yang beralamat di Jalan Cikini Raya RT8/RW2, Cikini, Menteng, Kota Jakarta Pusat. Perpustakaan ini berada di dalam kompleks Taman Ismail Marzuki, di bagian depan sehingga mudah ditemukan terlebih tulisan nama gedungnya mudah terlihat dari jalan raya.

Bagi pengunjung baru, perpustakaan ini cukup informatif--sehingga tidak membuat orang yang datang sendiri menjadi seperti orang hilang. Hehe. Setelah melewati pintu masuk, Bapak satpam yang duduk di meja sebelah kiri akan menyapa dan meminta pengunjung untuk mengisi buku tamu. Di sepanjang jalan menuju pintu perpustakaan (yang sebelumnya adalah pintu masuk bangunannya-red) terdapat pajangan gambar-gambar anak dan beberapa hasil karya tangan. Cantik. Setelah pintu masuk, kita akan diminta mengisi daftar hadir lewat komputer, di sisi sebelah kanan. Selain itu, kita juga bisa meminjam kunci loker, cukup dengan menjaminkan kartu identitas. Hanya saja, bagi non-anggota tidak bisa menggakses wifi, sementara itu keanggotaan hanya bagi pengunjung yang berkartu identitas DKI Jakarta. Hiks.

Perpustakaan ini relatif lebih besar dari perpustakaan yang pernah aku kunjungi sebelumnya di Yogyakarta (waktu itu Perpusataan Grhatama Pustaka BPAD belum dibangun-red). Kesan pertama tentang perpustakaan ini adalah bersih. Selain itu, penataan perpustakaan relatif rapi dan tidak padat (terkesan tidak terlalu penuh). Perpustakaan terdiri dari tiga lantai, yaitu lantai pertama merupakan perpustakaan umum, lantai kedua merupakan perpustakaan anak dan area playground, sedangkan lantai tiga merupakan area buku referensi. Perpustakaan memiliki toilet pada setiap lantainya dan mushola pada lantai satu, dan kondisinya bersih.

Pengunjung perpustakaan cukup banyak, mulai dari anak kecil, remaja, sampai orang dewasa. Berhubung hanya sendiri, pada kunjungan kali ini aku hanya berputar-putar di lantai satu saja. Itupun hanya berkeliling sebentar, kemudian mengetik tugas yang sempat tertunda-tunda. Semoga masih berkesempatan untuk mengeksplor bagian yang lain dan membaca buku-bukunya. Sayang kan, kalau ke perpustakaan tapi tidak membaca buku. Di lantai satu, kondisi ruangannya relative nyaman, jauh dari kesan kuno dan membosankan. Selain itu terdapat rak-rak buku, lantai satu juga dilengkapi dengan meja komputer, meja kerja, meja diskusi dan meja baca. Di lantai satu juga terdapat banyak colokan listrik, jadi jangan khawatir.

Oh iya, berhubung terdapat fasilitas loker, jaket dan tas tidak diperbolehkan dibawa masuk ke dalam ruangan, softcase notebook pun dianjurkan untuk tidak dibawa masuk. Beberapa menit sekali, terdapat petugas yang berkeliling memantau ruangan. Meskipun aku dan beberapa teman terkadang beranggapan bahwa peraturan dibuat untuk dilanggar, namun alangkah lebih bijaknya jika ditaati, demi kenyamanan bersama, peraturan dibuat untuk menjaga harmonisasi. Haha

Saat Ramadhan, jam operasional perpustakaan ini adalah tujuh hari dalam satu minggu, yaitu dari pukul 09.00 WIB sampai dengan pukul 15.00 WIB. Cukup kooperatif, daripada menghabiskan seluruh weekend untuk diam dan tidur di kost-an. 

Saturday, April 1, 2017

Tanpa Judul (5)

Hidup adalah perlombaan dengan waktu, bukan dengan orang lain.
Apakah hari ini lebih baik dari kemarin?
Apakah bulan ini lebih baik dari bulan sebelumnya?
Apakah tahun ini lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya?
Bukan mengenai siapa yang lebih baik.
Kamu, dia, atau mereka.

Kamu dengan yang lain tidak akan pernah sepadan untuk diperbandingkan.
Tidak akan pernah apple to apple.
Setiap manusia telah diciptakan dengan sebaik-baiknya (dalam versinya masing-masing), kata Tuhan.
Maka, jadilah yang paling baik dari diri sendiri.
Kamu tidak akan pernah dapat berhenti apabila terus membandingkan dengan yang lain,
dan itu akan sangat melelahkan,
sebab di atas langit masih ada langit.

Kemudian, apabila pada satu kondisi kamu dikaruniai kelebihan pada satu hal, sementara orang lain tidak,
maka bukan berati kamu lebih dari dia.
Tuhan Mahaadil, mungkin kamu hanya belum melihat kelebihannya pada hal lain--yang kamu tidak punya.
Jadi, kamu tidak berhak merasa lebih a.k.a sombong..
Lagi pula, tanpa kehendak Tuhan, kamu bukan apa-apa sama sekali.

Tuesday, January 31, 2017

Tanpa Judul (4)

Pada akhirnya, cinta dimiliki oleh keberanian; sebab selain kegembiraan, cinta adalah kesedihan; selain mengobati, cinta dapat menyakiti; dan selain dapat menghidupkan, cinta dapat mematikan.

Juga cinta adalah saling.
Landak yang saling mendekat dan merapatkan diri akan saling menghangatkan, namun juga melukai--karena duri di tubuhnya.

Setiap kehidupan sudah membawa setengah dari cintanya. Pekerjaaan selanjutnya adalah kepada siapa dia berani melengkapkan cintanya?