Monday, October 30, 2017

JILBAB TRAVELER: Love Sparks in Korea


Penulis: Asma Nadia
Penerbit: AsmaNadia Publishing House

Merupakan novel pertama dari Asma Nadia yang aku baca—yang sebenarnya terbitan tahun 2015. Ketingggalan sekali, bukan? Hiks. Nama Asma Nadia sudah lama cukup akrab, tapi baru kali ini tergerak membaca novelnya. Sebelumnya aku pernah menonton film dari buku Assalamu’alaikum Beijing dan Surga yang Tak Dirindukan 1 dan 2. Awalnya aku enggan karena mengira bakal menye-menye, tapi ternyata BAGUS BANGET! Novel ini ditulis dengan alur mundur maju, yang sangat mengalir dan penuh kejutan. Banyak pelajaran dan pengingat di dalamnya. Terima kasih Bunda Asma, telah menulis dan menginspirasi.

Rania, adalah anak ketiga dan terakhir dari sebuah keluarga sederhana di pinggir rel kereta api Gunung Sahari. Rania adalah anak yang paling dekat dengan ayahnya—mungkin karena semasa kecilnya yang sering sakit-sakitan. Rania kecil suka berlari mengejar kereta api yang kebetulan melaju cepat sembari membayangkan dirinya dalam gerbong-gerbong yang membawanya terbang ke negeri dongeng—setidaknya begitu selalu kata papanya dengan yakin.

“Ketika kecil, kami tinggal di samping rel kereta api. Setiap kereta lewat, Papa selalu bilang suatu saat kereta-kereta itu akan menerbangkan saya ke negeri seribu kisah” (halaman 173)

Dan terbukti, tidak ada yang mustahil apabila Allah berkehendak. Rania yang harus berhenti dari kuliah karena masalah kesehatan telah menjadi penulis best seller dan berkesempatan menjelajah ke berbagai negara. Tentu saja ada masa-masa yang tidak mudah untuk Rania lewati. Ia penulis dan dia pernah melewati lebih kurang satu tahun tanpa menyentuh keyboard komputer sekalipun.

“Sepasang matanya akan dengan cepat mengembun setiap mengingat hal ini. Tetapi jika terus memikirkan penyakit, dia akan kehilangan kemampuan mensyukuri begitu banyak hal manis. Deret kebaikan Allah yang terus menyapanya detik demi detik. Di layar laptop, Rania menulis kalimat berikut dengan huruf capital: JANGAN ARAHKAN SUDUT PANDANGMU PADA SESUATU YANG BELUM TENTU BISA KAU LIHAT. ITU HANYA AKAN MELEMPARKANMU PADA KETERASINGAN DI MANA RASA SYUKUR HANYA SEBATAS DI UJUNG LIDAH.” (halaman 186)

Nepal, negara seribu Dewa menjadi titik awal pertemuannya dengan Hyun Geun—seorang traveler asal Korea setelah insiden pencopetan tas Rania. Nepal mengingatkan Rania akan dua hal, yaitu kejadian saat ia memecahkan magnet kulkas pamannya dan saat papanya meninggal.

“Bagi traveler, kehilangan sesuatu di perjalanan, pasti pahit, bahkan bisa merusak semua rencana yang telah disusun. Tapi keikhlasan akan membuat satu dua kehilangan atau peristiwa tak diinginkan—yang sangat mungkin terjadi—tak menguapkan semua keceriaan selama perjalanan.” (halaman 253-254)

Ternyata, pertemuan tersebut menjadi awal sederet pertemuannya dengan Hyun Geun, ketika akhirnya Rania memutuskan mengikuti program Writers in Residence selama enam bulan di Korea. Dengan kamera saku yang sama saat di Nepal, Rania mengeksplor Seoul—kota terbesar dan teramai di Korea. Rania yang sedikit belajar lebih banyak tentang fotografi sejak bertemu dengan Hyun Geun, mulai membenarkan saran yang dia terima untuk berganti ke DSLR. 

"But the camera is just a tool, Rania. It’s the eye of a person behind it that matters." (halaman 159).

Hinga kemudian, Ihsan–tetangga sekaligus sahabat Rania selama 8 tahun di Indonesia menyusul terbang ke Korea. Menyambung perjalanan dari bandara Incheon, Seoul dengan kereta cepat KTX ke Busan. Ini adalah pertama kalinya Ihsan naik pesawat—pesawat menjadi trauma tersendiri bagi Ihsan sejak mamanya meninggal dalam kecelakaan pesawat. Mengapa?

“Allah menciptakan manusia, sempurna dengan ketidaksempurnaannya. Alhamdulillah” (halaman 261)

No comments: