Wednesday, August 2, 2017

GARIS WAKTU


Penulis: Fiersa Besari
Penerbit: Mediakita

Sebuah garis minimal terdiri dari dua titik, titik awal dan titik akhir. Berawal bulan April tahun pertama dan (dianggap) berhenti pada tahun kelima bulan yang sama. Setidaknya butuh waktu kurang lebih lima tahun bagi Bung (sapaan Fiersa Besari) untuk dapat menarik benang merah perjalanan hidupnya selama tahun-tahun itu, yaitu mengikhlaskan. Aku mengasumsikan tokoh pertama dalam buku itu adalah Bung, sebab ditulis dengan menggunakan sudut pandang orang pertama.

Hampir enam puluh purnama. Ada harapan, penantian, pengorbanan, perjuangan, perjalanan, kekecewaan, luka, kesedihan yang diiringi dengan ketegaran dan canda tawa dan diakhiri dengan keikhlasan. Terbaca, bahwa dibalik ketegarannya, di belakang kebijaksanaannya mencari dan mengambil hikmah pada setiap pelajaran kehidupan, Bung membiarkan sisi manusiawi dalam dirinya tetap hidup. Bung tetaplah manusia biasa yang bisa jatuh, membiarkan diri jatuh, menikmati sakitnya jatuh, kemudian berusaha berdiri dan berjalan, dan semoga bisa berlari—menyamakan langkah dengan waktu yang tidak mau menunggu saat ia berhenti.

Sebelum bulan April tahun pertama, kehidupan Bung berjalan teratur sebagaimana mestinya, pada titik demi titik keseimbangan, garis pareto optimum. Hingga kemudian dia bersinggungan dengan garis lain.

Cinta selalu bersemi di tempat, waktu, dan situasi yang tidak terduga. Ia laksana mentari di tengah temaram; hijau diantara gersang. Cinta tidak pernah datang dengan tiba-tiba; ia akan mengendap-endap menyusup ke urat nadimu, meledakkan jantungmu, lalu meninggakanmu terbakar habis bersama bayang-bayangnya (halaman 16).

Hati Bung tanpa izin sudah memilih. Kalau sudah begitu, yang perlu dilakukan adalah mengucapkan selamat datang dan menikmati roller coaster drama kehidupan. Dengan cinta, hidup menjadi drama, lebih hidup. Cinta adalah kekuatan yang cukup besar, mengubah benci menjadi suka, mengubah pelit menjadi dermawan, mengubah sedikit menjadi banyak, mengubah jauh menjadi dekat, atau sebaliknya. Namun cinta hanya bisa mengubah rasional menjadi irrasional, bukan sebaliknya. Meskipun demikian, cinta tidak pernah salah, dan bagaimana kita membawa diri saat jatuh pada cinta pun tidak salah--walaupun selamanya tidak selalu benar. Cinta adalah anugerah, walau entah bagaimana ia berakhir.

Berbulan, Bung menunggu si dia dengan sabar, dia yang datang ketika terluka, dirundung sepi atau dalam masalah. Bung dengan sabar pula mengobati, menemani dan membantu, atas nama kepedulian pada awalnya. Kemudian dia pergi kembali bersama orang lain, dan Bung hanya diam dan berdoa dengan perasaan yang tidak bisa dideskripsikan. Sekarang katakan, perasaan macam apa itu?

Rasa adalah anomali yang tidak bisa diprediksi. Rasa bisa datang dan pergi kapan pun dia mau. Rasa bukanlah sesuatu yang porsinya harus sama. Kadang, rasa yang kau beri tidak berbanding lurus dengan rasa yang kau terima. Maka, ketika rasa untukmu pergi, berhenti bertanya kenapa itu terjadi. Ubah apa yang masih bisa diubah, lepaskan apa yang sudah tidak bisa diubah. Bumi tidak pernah berhenti berputar ketika kau memilih untuk berhenti melangkah (halaman 177).

Berbulan setelahnya, dia datang kembali, tentu saja dengan luka, sepi dan masalah. Dan, Bung masih saja tidak beranjak jadi ruang tunggunya. Oh, Bung! Kemudian, seolah doa Bung terjawab, mereka, Bung dan si dia, mencoba berjalan dengan tujuan yang sama. Mereka mulai berbagi, walaupun entah siapa yang memberi lebih banyak dan siapa yang menerima lebih sedikit. Dia mungkin tidak tahu, bahwa Bung mencintainya dengan cara sederhana yang tidak biasa. Tidak percaya? Baca saja bukunya.

Ternyata ini bukan akhirnya, tetapi cukup untuk menjadi akhir. Bukan tidak cukup, tetapi cinta Bung mungkin belum menemukan tempat yang seharusnya. Karena, siapa sangka, si dia untuk kali berikutnya menghilang. Dan sudah bisa diduga, untuk kesekian kalinya dan yang terakhir, si dia memutuskan untuk berhenti, dan menikah. Dengan siapa?

Akhirnya, pada bulan keempat tahun kelima, Bung benar-benar benar. Bung pun ke gunung, menemui semesta, dari puncaknya jalan terjal yang telah dilalui sudah sama sekali tidak terlihat menyakitkan, meskipun bekas-bekas lukanya tetap ada.

Suratku ini telah tiba pada ujungnya. Ada lara, tawa, kecewa serta cinta yang kutumpahkan di dalamnya. Rangkaian emosi datang silih berganti, hingga akhirnya tersemat sebuah keikhlasan (halaman 205).

No comments: