Monday, September 18, 2017

SURABAYA (Bagian 1)

Rabu, 16 Agustus 2017

Akhirnya aku memutuskan untuk jalan-jalan (atau lebih tepatnya kabur) ke Surabaya. Cukup impulsif, dan mungkin bukan keputusan yang tepat mengingat Surabaya bukanlah destinasi prioritas untuk jalan-jalan. Selain itu, berpergian ditengah penyusunan laporan triwulanan ternyata cukup menyita pikiran dan energi—dimana harus lembur lebih kurang empat hari sebelumnya agar bisa kabur dengan tenang (tapi realitanya tidak juga). Hahaha. Namun demikian, tidak salah pergi ke Surabaya, karena di Surabaya aku bertemu dengan teman-teman terbaikku. Kata orang sih bukan kemana-nya, tetapi dengan siapa-nya.

Aku berangkat dari kantor cukup mepet, ditambah sedikit bermacet-macet di jalan, aku terpaksa harus berlari-lari agar tidak terlambat masuk ke gerbong. Aku duduk di gerbong nomor 6, kursi 3B. Untuk kereta Bangunkarta, kursi duduk tersebut relatif strategis, karena tidak terlalu dekat dan terlalu jauh dengan toilet dan pintu keluar. Selain itu, gerbong nomor 6 juga cukup dekat dengan resto—seumur-umur naik kereta aku belum pernah ke resto. Kereta juga menyediakan selimut, meskipun saat itu AC-nya tidak terlalu dingin. Sayangnya, tidak ada meja lipat di kursi duduknya, sehingga agak menyulitkan ketika mau makan atau kerja (ditulis dengan huruf kapital, bold dan underlineKERJA”). Akhirnya, pukul 15.00 WIB persis keretaku berangkat.

Di sampingku duduk seorang bapak-bapak, kalau tidak salah ingat namanya Sumarno. Dari apa yang dibicarakan, aku yakin beliau bukanlah sembarang orang. Kami membicarakan mulai dari Bapp*nas, berita-berita terkini (wuih terkesan up to date yak), sampai agama. Sayang sekali, aku tidak jadi meminta bertukar kontak dengan beliau. Terlepas dari latar belakang beliau, hal yang cukup terus aku ingat adalah pikirane kudu resik, niate apik, lakune becik¸(pikirannya harus bersih, niatnya bagus dan perilakunya baik) agar bahagia. Falsafah hidup yang sederhana, tidak muluk-muluk, tetapi tidak mudah untuk dipraktikan.

Kamis, 17 Agustus 2017

Singkat cerita, setelah menghabiskan lebih kurang 12,5 jam di dalam kereta dengan mengobrol, tidur, dan mati gaya, akhirnya pukul 04.00 WIB aku sampai di Stasiun Gubeng, Surabaya. Setelah sholat Subuh dan tidur beberapa jam di kostan temanku, Ima, yang terletak di Jalan Embong Kenongo, sekitar pukul 09.00 WIB kami berdua bersiap berangkat ke Malang. Tujuan kami adalah ke Masjid Tiban Malang, konon disebut masjid tiban karena masjid yang megah dengan sepuluh lantai tersebut tiba-tiba berdiri di tengah pemukiman warga. Menurut beberapa sumber, masjid tersebut sebenarnya adalah pondok pesantren yang dibangun secara bergotong royong swadaya oleh santri dan jamaah, sehingga tidak banyak pihak luar yang mengetahui proses pembangunan masjid tersebut. Masjid berlokasi di Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Malang atau dapat ditempuh sekitar 5 jam dari Surabaya dengan mobil.

Lokasi masjid dapat terdeksi oleh google map, walaupun memang agak “masuk”, sehingga kami harus bertanya kepada warga. Warga sekitar menyediakan tempat parkir kendaraan, meskipun ternyata di dalam komplek masjid juga tersedia. Dari lokasi parkir warga, kami berjalan sekitar 50 meter atau sekitar 5 menit. Di sepanjang jalan, berjajar pedagang berbagai makanan kecil dan oleh-oleh, dengan harga yang relatif sangat terjangkau. Kami agak terkejut, ketika di tengah jalan seorang anak kecil yang menawarkan plastik untuk tempat sepatu kami saat memasuki masjid dengan harga yang sangat murah, lima ratus Rupiah!


Penampakan masjid tersebut adalah perpaduan antara gaya Timur Tengah, Tiongkok dan modern. Tampak bagian depan masjid adalah ornament Timur Tenggah dengan warna dominan biru dan putih. Di bagian dalam lantai dasar masjid terdapat banyak sekat ruangan, dengan berbagai peruntukan. Misalnya mushola, tempat wudhu, tempat istirahat, kolam yang terpisah antara putra dan putri; ruang tamu; ruang akuarium dan sebagainya. Menurut beberapa sumber, lantai satu dan empat digunakan sebagai tempat kegiatan para santri; lantai enam sebagai ruang keluarga; lantai tujuh dan delapan sebagai tempat toko-toko cinderamata yang dikelola santri.

Pengunjung yang datang dapat langsung ke dalam masjid untuk mencatatkan diri dan mengambil kartu tamu. Kartu tersebut nanti harus dikembalikan ketika akan meninggalkan masjid. Mungkin kartu tersebut lebih difungsikan sebagai pendataan saja, karena pengunjung tidak perlu membayar (tetapi boleh kalau mau berinfak).

Secara keseluruhan bagunan masjid masih belum sepenuhnya selesai, lebih kurang sekitar 40 persen masih dalam pengerjaan. Seperti pada kebanyakan masjid yang lain, di dalam masjid sangat adem, dari lantai dasar sampai lantai atas. Kami menghabiskan waktu lebih kurang tiga jam untuk sholat, berfoto dan mengelilingi masjid.

Menjelang sore, kami memutuskan untuk kembali ke Surabaya dengan sebelumnya mampir ke Bakso Bakar Pak Man yang lokasinya tepat di pinggir jalan, apabila tidak salah di Jalan Diponegoro. Bakso Bakar Pak Man merupakan salah satu kuliner yang direkomendasikan beberapa sumber yang wajib dicoba bila sedang berkunjung ke Malang. Tempat berjualan yang digunakan tidak terlalu besar dan relatif sederhana, namun pada saat itu sangat ramai. Selain bakso bakar, juga disediakan bakso kuah, namun hanya disediakan satu jenis minuman yaitu teh bot*l sos*o. Pada waktu itu, stok tehnya sempat kehabisan, maklum bakso bakarnya pedas.Hahah

Selesai makan, kami tidak bisa berlama-lama di sana karena sudah ada yang mengantri tempat duduk. Akhirnya, kami memutuskan untuk pulang, tetapi sebelumnya mampir membeli sempol—aku lupa dimana. Sempol itu adalah semacam siomay kecil-kecil yang ditusuk seperti sate, lalu digoreng setelah sebelumnya dicelupkan ke dalam telur. Harga untuk satu tusuknya adalah lima ratus Rupiah. Kami masing-masing membeli sepuluh tusuk, dan ternyata mengenyangkan.


Oh iya, kami juga mampir ke Malang Strudle. Itu lho, leholeh khas Malang punyanya Teuku Wisnu. Kami membeli beberapa macam keripik buah, bukan strudel. Perilaku antimainstream yang agak gevleg sih sebenarnya. Hahah