Sunday, June 11, 2017

Fantasy


Aku berdiri di tengah arus manusia yang menyemut dengan langkah bergegas keluar dari gerbong kereta Shinjuku Line.

Fantasy, ditulis oleh Novellina, mengisahkan tentang cinta dan persahabatan. Novel setebal 310 halaman tersebut, menggunakan alur mundur-maju dengan sudut pandang orang pertama dari dua tokoh utamanya, yaitu Davina dan Armitha. Keduanya bersahabat erat sejak duduk di bangku SMA. Mitha sangat cantik, berambut panjang sepunggung, bergigi kelinci, dan bermata lebar dengan bulu mata yang super tebal. Berbeda dengan Vina yang cenderung cuek dengan penampilannya, meskipun pada dasarnya ia cantik dengan darah Belandanya itu. Vina terlalu malas bahkan untuk sekedar menyisir rambut, namun dalam urusan akademis Vina dapat diandalkan.

Cerita berawal ketika Awang menemui Vina yang sedang asyik membaca supernova di perpustakaan, ia meminta dikenalkan dengan Mitha. Awang menyukai Mitha, tetapi entah mengapa Awang lebih nyaman dan terbuka dengan Vina. Mitha sempat curiga kalau Vina menyukai Awang, tetapi Vina bukanlah sahabat yang egois.

“Aku berharap Awang berhasil membuat Mitha menyukainya. Aku menyukai mereka berdua. Awang sangat menyayangi Mitha dan aku ingin seseorang yang terbaik untuk sahabatku.” (halaman 35)

Namun hati bukan tidak berubah, seberapa kuat pun dikontrol ia akan bergerak mengikuti alur jalannya. Kemudian, hati-hati yang ditakdirkan untuk saling melengkapi, akan saling mencari dan menemukan. Begitupula dengan Awang, tidak ada yang menghendaki ketika pada akhirnya perasaan Awang berubah haluan di saat Mitha benar-benar jatuh hati padanya, pun dengan Vina.

“Aku juga tidak tahu bahwa Awang selama ini adalah udara bagiku, alasan mengapa aku melakukan banyak hal akhir-akhir ini. Aku juga tidak tahu bahwa Awang adalah seluruh panca inderaku, ia menuntunku menjadi manusia yang lebih baik, bukan hanya Mitha, seorang anak SMA biasa.” (halaman 124)

Cinta memang ajaib, diakui ataupun tidak, Mitha yang sebelumnya sama sekali tidak tertarik dengan musik klasik menjadi sangat bersemangat mendalami piano, karena Awang. Mereka berdua mendaftar sekolah musik milik pianis yang sudah berkiprah di kelas internasional, Fantaisie Music School. Awang dan Mitha beberapa kali menjadi patner saat melakukan showcase, hingga pada akhirnya Awang memutuskan untuk mengambil beasiswa sekolah musik ternama di dunia, yaitu di Tokyo University of Arts. Tentu saja, Awang meminta persetujuan Vina lebih dahulu, dan dengan berat hati Vina mengiyakan keinginannya tersebut. Mitha tidak habis pikir dengan keputusan Vina.

"Kamu tahu mengapa persahabatan kita sangan berbeda dengan persahabatan orang lain? Karena Tuhan sudah menggariskan jalan hidup kita. Bahwa kita akan menyukai laki-laki yang sama. Laki-laki yang memasuki kehidupan kita secara bersamaan, dan Tuhan memberi kita hati yang besar, dan sedikit hormon sehingga kita tidak akan pernah bertengkar memperebutkannya.” (halaman 125)

“Aku berbeda dengan Vina, Hati yang besar hanyalah sebuah penyiksaan diri. “Kenapa kamu membiarkannya pergi jika kamu sangat mencintainya?” Because I love him so much and it hurts.” (halaman 125)

“Suatu hari aku akan bertemu dengannya lagi, entah hanya untuk mengucapkan selamat tinggal lagi atau bersama kembali. Hari itu akan datang. Hari di mana kita kan menjalin takdir kita dengan takdirnya lagi. Love doesn’t conquer all, faith does” (halaman 127)

...

Tujuh tahun kemudian, yaitu pada tahun 2012. Semuanya berubah. Mitha menjadi sangat membenci Vina. Baginya Vina adalah peruntungan buruk, Vina telah menghancurkan semua mimpi-mimpinya. Kecelakan itu, terjadi empat tahun yang lalu telah membuat Mitha lumpuh, terlihat menyedihkan—setidaknya anggapannya bagi dirinya sendiri. Mitha enggan bertemu dengan orang lain, terutama Vina yang seolah menghasihani ketunaannya. Selama itu pula Mitha mengurung diri di dalam kamar.

Sementara itu, Vina yang saat itu bekerja pada sebuah lembaga pers sudah kehabisan cara bagaimana menghidupkan kembali semangat hidup sahabatnya, yang menolak mentah-mentah menemuinya. Untuk itulah, dia terbang ke Tokyo, menemui Awang, untuk Mitha.

“Tidak ada yang lebih menyedihkan selain saat seseorang kehilangan harapan. Ketika seseorang bahkan tidak sanggup memimpikan sesuatu. Kupikir aku tidak akan berhenti berharap, dan akan baik-baik saja selama itu. Kupikir aku tidak akan pernah putus asa. Namun ketika menatap diriku sendiri, aku tidak bisa mengenali diriku lagi” (halaman 133)

Pada puncaknya, dengan bantuan Awang dan rekannya, Mitha kembali bermain piano bahkan mengikuti kompetisi internasional, menjadi salah satu kompetitor Awang, sesuai janji mereka berdua saat masih SMA. Keduanya berhasil memasuki babak final. Saat itu pulalah, kebencian Mitha kepada Vina mencapai puncaknya.

“Ternyata kamu tidak pernah berubah. Tidakkah kamu sadar semua orang telah berubah? Mitha yang kamu kenal sekarang bukan Mitha yang kamu kenal dulu.” (halaman 215)

“Aku menjahuimu karena aku muak dengan kenaifanmu, dengan kamu yang selalu berusaha membantuku keluar dari kesulitan hidupku, dan merasa mengetahui apa yang paling baik untukku dan bertidak seperti malaikat tanpa kuminta! Dari awal kamu hadir dalam hidupku untuk merusak kebahagiaanku. Kamu merebut Awang dari dariku, membiarkannya pergi dari sisiku delapan tahun lalu, dan membuatku lumpuh. Tidakkah semua ini cukup menyadarkanmu untuk pergi dari kehidupanku?” (halaman 216)

Pada saat yang bersamaan, dalam kondisi di mana cinta Mitha pada Awang yang sangat tidak terkendali dan Vina yang meragu antara berkorban untuk sahabatnya atau memperjuangkan cintanya, tanpa disadari Awang memberikan cintanya pada dua orang yang pernah bersahabat tersebut, meskipun dengan proporsi yang berbeda. Mereka harus memilih.

“Aku tertegun. Walaupun aku tahu jauh di lubuk hatinya, Awang sangat menyayangi Mitha, ketika mengetahui jika mungkin saja Awang mencintai Mitha, aku tidak siap menerimanya.” (halaman 277)

“Karena aku tidak ingin kehilangan Awang lagi, Mit,”potongku dingin” (halaman 278)

“Pilih, Awang. Kamu nggak bisa memiliki kami berdua sekaligus, “kataku akhirnya dan Mitha sekali lagi menyambutku dengan tawa menghina.” (halaman 281)

Bukan, ternyata bukan mereka yang memilih, tetapi takdir…

No comments: