Sunday, August 13, 2017

AWE- INSPIRING ME

Penulis: Dewi Nur Aisyah
Penerbit: Imprint Penerbit Serambi

Sungguh Allah memberikan kebahagiaan melalui banyak jalan. Melalui banyak kisah (halaman 149).

Mendengarkan dan membaca kisah hidup orang lain, ternyata membuat mata hati terbuka lebih lebar dalam melihat, memahami, menjalani dan memaknai kehidupan. Semakin banyak cerita yang disimak, semakin menjelaskan bahwa hidup tidak lain kecuali untuk disyukuri, terlebih dengan nikmat iman dan Islam.

Dua kata dan dua frasa untuk buku ini, luar biasa dan sangat bermanfaat!

Aku yakin tulisan dalam buku ini, muncul dari sosok yang cerdas, tegas, kuat tetapi lembut penuh kasih sayang. Buku ini bisa menjadi teman, yang membagi hal-hal penting dalam kehidupan, dan mengingatkan ketika lupa karena disibukan oleh banyak hal. Secara garis besar, menceritakan tentang personal branding seorang muslimah, yang salah satunya adalah untuk berprestasi (menginspirasi) dalam konteks luas. Seorang muslimah harus mempunyai cita-cita setinggi mungkin, menyusun rencana, dan menentukan waktu kapan berbagai rencana tersebut harus segera tereksekusi sebagai bagian dari ikhtiar. Juga dijelaskan, bagaimana ketika ikhtiar belum bertemu dengan takdir, yang orang pada umumnya menyebutnya dengan kegagalan.

Adalah masa ketika kita terjatuh perih, tergores luka, menyisakan perih dalam dada. Sat kita begitu kecang berlari dan terpaksa harus berhenti karena tersandung kerikil-kerikil ujian dan duri.” (halaman 122)

Adalah masa ketika kita merasakan begitu beratnya menanggung letih perjuangan, terseok berjalan dalam panjang tapak kehidupan. Tertatih melangkah dan terus bertahan. Seakan hati kecil menanyakan, “kapankah ini semua harus berakhir dan terbayarkan?” (halaman 122)

Adalah masa ketika doa dan permintaan kita tidak dikabulkan. Guratan kekecewaan seketika datang menelisip ke dalam kalbu yang perih menahan tangis. Terasa begitu pedih dan enggan untuk menengok kembali. Seakan cahaya dunia telah redup berdasarkan terkuburnya cita dan asa.” (halaman 122)

Bahasan pada bagian itu, nyes banget, mengena di hati. Siapa sih yang tidak sedih dengan kegagalan, ketika yang diharapkan belum sesuai dengan keinginan. Bukan hal yang mudah agar dapat sabar, tetap yakin kepada Allah, dan optimis. Kak Dewina, izin kutip ya.

Sungguh hanya Dia yang mampu memahami perihnya luka, pedihnya rasa, dan munajat khusyuk doa-doa. Allahu Qawwiy, kuatkan ya Rabb..kuatkan hati ini tatkala penantian akan pertolongan-Mu menyisipkan ragu dalam diri.” (halaman 123-124)

Kegagalan ternyata adalah cara Allah memberi tahu bahwa manusia sejatinya lemah dan kecil, tanpa Allah yang memberi kekuatan dan pertolongan. Kegagalan jelas menjelaskan bahwa Allah tidak membutuhkan manusia, tapi manusia-lah yang membutuhkan Allah.

Dalam buku tersebut dituliskan kisah salah seorang teman penulis, sebagai berikut. “Selama ini, saya menganggap bahwa jika kamu mau hasil terbaik maka berikhtiarlah yang terbaik. Hal itu menjadikan saya bertanya-tanya jika saya telah merasa melakukan yang terbaik dan tidak mendapatkan yang terbaik maka saya menggugat keadilan-Nya dan arogan bertanya alasannya. Padahal, bukankah itu hak prerogative Allah SWT yang menentukan apa pun yang Dia mau.” (halaman 146)

Tersebutlah seorang hamba yang terkejut melihat gunungan amalnya, merasa tak memiliki amal shalilh sebanyak itu selama hidupnya, bertanyalah si hamba,” Ya Allah, amal sholeh yang mana yang menciptakan gunungan pahala setinggi itu?” Terjawablah tanyanya,” Sesungguhnya itu adalah pahala hasil doamu yang tidak Aku kabulkan.” Si Hamba masih ternganga dan berkata,” jika begitu, aku sungguh berharap tak ada doaku yang Kau kabulkan.” (halaman 147)

Dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana mendekatkan diri kepada Allah dan juga cara mengelola hati. Satu lagi, dalam buku ini terdapat panduan dan simulasi untuk menyusun rencana (target-target) hidup, dari tahunan sampai harian.

Terakhir, mengutip dengan perubahan: kehadiran muslimah menjadi penyejuk bagi dunia, saat iman menjadi muara jiwa, takwa menjadi pakaian dan salihah menjadi penghias akhlak.

Sekarang aku menjadi berkesimpulan bahwa, cita-cita terbaik seorang wanita adalah menjadi shalihah.

Wednesday, August 2, 2017

GARIS WAKTU


Penulis: Fiersa Besari
Penerbit: Mediakita

Sebuah garis minimal terdiri dari dua titik, titik awal dan titik akhir. Berawal bulan April tahun pertama dan (dianggap) berhenti pada tahun kelima bulan yang sama. Setidaknya butuh waktu kurang lebih lima tahun bagi Bung (sapaan Fiersa Besari) untuk dapat menarik benang merah perjalanan hidupnya selama tahun-tahun itu, yaitu mengikhlaskan. Aku mengasumsikan tokoh pertama dalam buku itu adalah Bung, sebab ditulis dengan menggunakan sudut pandang orang pertama.

Hampir enam puluh purnama. Ada harapan, penantian, pengorbanan, perjuangan, perjalanan, kekecewaan, luka, kesedihan yang diiringi dengan ketegaran dan canda tawa dan diakhiri dengan keikhlasan. Terbaca, bahwa dibalik ketegarannya, di belakang kebijaksanaannya mencari dan mengambil hikmah pada setiap pelajaran kehidupan, Bung membiarkan sisi manusiawi dalam dirinya tetap hidup. Bung tetaplah manusia biasa yang bisa jatuh, membiarkan diri jatuh, menikmati sakitnya jatuh, kemudian berusaha berdiri dan berjalan, dan semoga bisa berlari—menyamakan langkah dengan waktu yang tidak mau menunggu saat ia berhenti.

Sebelum bulan April tahun pertama, kehidupan Bung berjalan teratur sebagaimana mestinya, pada titik demi titik keseimbangan, garis pareto optimum. Hingga kemudian dia bersinggungan dengan garis lain.

Cinta selalu bersemi di tempat, waktu, dan situasi yang tidak terduga. Ia laksana mentari di tengah temaram; hijau diantara gersang. Cinta tidak pernah datang dengan tiba-tiba; ia akan mengendap-endap menyusup ke urat nadimu, meledakkan jantungmu, lalu meninggakanmu terbakar habis bersama bayang-bayangnya (halaman 16).

Hati Bung tanpa izin sudah memilih. Kalau sudah begitu, yang perlu dilakukan adalah mengucapkan selamat datang dan menikmati roller coaster drama kehidupan. Dengan cinta, hidup menjadi drama, lebih hidup. Cinta adalah kekuatan yang cukup besar, mengubah benci menjadi suka, mengubah pelit menjadi dermawan, mengubah sedikit menjadi banyak, mengubah jauh menjadi dekat, atau sebaliknya. Namun cinta hanya bisa mengubah rasional menjadi irrasional, bukan sebaliknya. Meskipun demikian, cinta tidak pernah salah, dan bagaimana kita membawa diri saat jatuh pada cinta pun tidak salah--walaupun selamanya tidak selalu benar. Cinta adalah anugerah, walau entah bagaimana ia berakhir.

Berbulan, Bung menunggu si dia dengan sabar, dia yang datang ketika terluka, dirundung sepi atau dalam masalah. Bung dengan sabar pula mengobati, menemani dan membantu, atas nama kepedulian pada awalnya. Kemudian dia pergi kembali bersama orang lain, dan Bung hanya diam dan berdoa dengan perasaan yang tidak bisa dideskripsikan. Sekarang katakan, perasaan macam apa itu?

Rasa adalah anomali yang tidak bisa diprediksi. Rasa bisa datang dan pergi kapan pun dia mau. Rasa bukanlah sesuatu yang porsinya harus sama. Kadang, rasa yang kau beri tidak berbanding lurus dengan rasa yang kau terima. Maka, ketika rasa untukmu pergi, berhenti bertanya kenapa itu terjadi. Ubah apa yang masih bisa diubah, lepaskan apa yang sudah tidak bisa diubah. Bumi tidak pernah berhenti berputar ketika kau memilih untuk berhenti melangkah (halaman 177).

Berbulan setelahnya, dia datang kembali, tentu saja dengan luka, sepi dan masalah. Dan, Bung masih saja tidak beranjak jadi ruang tunggunya. Oh, Bung! Kemudian, seolah doa Bung terjawab, mereka, Bung dan si dia, mencoba berjalan dengan tujuan yang sama. Mereka mulai berbagi, walaupun entah siapa yang memberi lebih banyak dan siapa yang menerima lebih sedikit. Dia mungkin tidak tahu, bahwa Bung mencintainya dengan cara sederhana yang tidak biasa. Tidak percaya? Baca saja bukunya.

Ternyata ini bukan akhirnya, tetapi cukup untuk menjadi akhir. Bukan tidak cukup, tetapi cinta Bung mungkin belum menemukan tempat yang seharusnya. Karena, siapa sangka, si dia untuk kali berikutnya menghilang. Dan sudah bisa diduga, untuk kesekian kalinya dan yang terakhir, si dia memutuskan untuk berhenti, dan menikah. Dengan siapa?

Akhirnya, pada bulan keempat tahun kelima, Bung benar-benar benar. Bung pun ke gunung, menemui semesta, dari puncaknya jalan terjal yang telah dilalui sudah sama sekali tidak terlihat menyakitkan, meskipun bekas-bekas lukanya tetap ada.

Suratku ini telah tiba pada ujungnya. Ada lara, tawa, kecewa serta cinta yang kutumpahkan di dalamnya. Rangkaian emosi datang silih berganti, hingga akhirnya tersemat sebuah keikhlasan (halaman 205).