Saturday, June 18, 2011

Menembus Batas-Batas Pergerakan Mahasiswa



Pada KTT III tahun 1972 di Jeddah, Saudi Arabia, Indonesia secara resmi telah menjadi anggota OKI dan turut menandatangani piagam OKI, walaupun sebelumnya pun  Indonesia sudah ikut berperan aktif. Di Indonesia mayoritas masyarakatnya beragama muslim, sehingga keikutsertaan dalam Organisasi Konferensi Islam tentunya mendapat respon yang positif. Hal ini tentunya memberikan dampak bagi pergerakan mahasiswa, dimana mahasiswa merupakan pionir yang peka terhadap berbagai perkembangan situasi. Berbagai organisasi pergerakan mahasiswa yang berkiblat pada ajaran islam menjamur, menciptakan rantai perjuangan yang berpegang pada ukhuwah islamiyah.
Munculnya bebagai pergerakan mahasiswa yang berbasis Islam bukan semata-mata karena kebergabungan Indonesia dengan OKI semata, namun juga karena kepekaan sebagian kecil mahasiswa yang gelisah memikirkan perilaku mahasiswa pada saat itu. Di mana saat itu paham sekuler mulai mengaliri sendi-sendi pemikiran mahasiswa. Dengan kata lain terjadi pemisahan antara urusan keduniawian dengan keagamaan. Ini tidak sejalan dengan prinsip korelasi antara ilmu pengetahuan yang menjembatani urusan keduniawian dengan keagamaan yang menjembatani
Salah satu kutipan terkenal mahasarjana Albert Einstein adalah Science without religion is lame, religion without science is blind, yang diterjemahkan ilmu tanpa keberagamaan berarti pincang, keberagamaan tanpa ilmu berarti buta. Sekalipun terkenal, kutipan ini termasuk yang paling sering dimanipulasi orang beragama menjadi Ilmu tanpa agama berarti pincang, agama tanpa ilmu berarti buta.(sumber: iconcealmyheart.blogspot.com) Jadi harus ada korelasi antara ilmu pengetahuan dan ilmu agama, untuk menciptakan sebuah keseimbangan.
Idealnya dengan maraknya berbagai organisasi sebagai wadah aspirasi dan ajang kreasi serta aktualisasi diri mahasiswa, pergerakan mahasiswa seharusnya semakin progresif tanpa kefanatikan yang berlebihan terhadap organisasinya. Dengan demikian tidak terjadi pengkotak-kotakan pergerakan mahasiswa, mengingat fungsi mahasiswa adalah sebagai controller jalannya pemerintahan. Sehingga, bukan menjadi hal yang lucu ketika terjadi perang dingin antarorganisasi kemahasiswaan hanya karena berebut pengaruh atau pun massa.
Tugas seorang mahasiswa tidaklah berat tetapi tidak mudah, berbeda dengan tugas seorang kuli bangunan. Mahasiswa dituntut menggunakan pemikirannya secara penuh untuk menggerakan masyarakat karena fungsinya sebagai mesin penggerak. Di perguruan tinggi mahasiswa mendapatkan banyak teori, pengetahuan dan wawasan serta digembleng dengan berbagai macam ujian. Namun knowledge whithout practice is nothing, maka dengan berorganisasilah sebagai ajang pengaktualisasian pengetahuan yang diperoleh di kursi-kursi pembelajaran formal, juga sebagai sarana pengaplikasian Tri Dharma Perguruan Tinggi. Akan tetapi dengan intelektualitas yang tinggi belumlah cukup bagi mahasiswa untuk menjadi sesosok agent of exchange. Ibarat sebuah mesin pengerak akan seret bahkan stagnan tanpa pelumas yang memperlancar kinerja mesin tersebut. Dan pelumas itu adalah ilmu keagamaan yang mana berfungsi sebagai fondasi pembangunan moralitas para intelektual.
Menenggok ke belakang, selang beberapa tahun setelah kebergabungannya dengan OKI, Indonesia didera komplikasi krisis, meliputi krisis ekonomi, krisis politik maupun krisis kepercayaan.  Saat itu tuntutan semua mahasiswa baik secara pribadi maupun dari berbagai organisasi pergerakan dengan latar belakang yang berbeda-beda adalah sama dan satu, yaitu menuntut turunnya rezim Soeharto. Kepercayaan masyarakat yang terstimulan oleh berbagai bentuk aksi mahasiswa terhadap pemerintah waktu itu seolah benar-benar hilang. Dan dengan kebersatuan pergerakan mahasiswa tersebut terbukti mampu melahirkan sebuah kepemerintahan baru. Sayangnya, aksi mahasiwa yang awalnya menggebu-gebu mengontrol kinerja pemerintah seolah tanpa  kelanjutan. Kiprah mahasiswa seakan menghilang di tengah jalan, sehingga reformasi seolah hanya pergantian rezim saja. Padahal senyatanya Indonesia memerlukan bimbingan dari sosok-sosok intelektual. Apakah benar perhatian mahasiswa teralih pada kompetisi antarsesama organisasi pergerakan mahasiswa dalam rangka menata dan membesarkan organisasinya? Padahal Indonesia membutuhkan lebih dari sekedar koreksi, judgement salah atau benar tetapi bimbingan dari salah ke yang benar dan kontrol agar senantiasa berada di jalur yang benar. Papahan mahasiswa selalu di butuhkan di setiap langkah perjalanan ibu pertiwi  baik itu saat sigap terlebih lagi disaat tertatih.
Dengan demikian organisasi merupakan wadah  bagi mahasiswa untuk mengkorelasikan antara pengetahuan dan praktik di lapangan sehingga bisa menyeimbangkan input dan output dari seorang yang berstatus mahasiswa. Namun, bukanlah hal yang benar bila kemudian dengan keberagaman organisasi justru malah mengotak-otakan pergerakan kemahasiswaan, mengingat fungsi utama mahasiswa adalah sebagai pengontrol pemerintah. Memang dalam mengikuti sebuah keorganisasian dituntut keloyalitasan, hanya saja perlu mendahulukan hal yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dibanding kepentingan dalam organisasi. Maka, diperlukan sinergi yang proporsional antara ilmu pengetahuan dan ilmu agama agar terbentuk mahasiswa yang intelek dan religius.

No comments: