Penulis: Fiersa Besari
Penerbit: MediakitaSebuah garis minimal terdiri dari dua titik, titik awal dan titik akhir. Berawal bulan April tahun pertama dan (dianggap) berhenti pada tahun kelima bulan yang sama. Setidaknya butuh waktu kurang lebih lima tahun bagi Bung (sapaan Fiersa Besari) untuk dapat menarik benang merah perjalanan hidupnya selama tahun-tahun itu, yaitu mengikhlaskan. Aku mengasumsikan tokoh pertama dalam buku itu adalah Bung, sebab ditulis dengan menggunakan sudut pandang orang pertama.
Hampir enam puluh purnama. Ada harapan,
penantian, pengorbanan, perjuangan, perjalanan, kekecewaan, luka, kesedihan
yang diiringi dengan ketegaran dan canda tawa dan diakhiri dengan keikhlasan.
Terbaca, bahwa dibalik ketegarannya, di belakang kebijaksanaannya mencari dan
mengambil hikmah pada setiap pelajaran kehidupan, Bung membiarkan sisi manusiawi dalam dirinya tetap hidup. Bung tetaplah manusia
biasa yang bisa jatuh, membiarkan diri jatuh, menikmati sakitnya jatuh,
kemudian berusaha berdiri dan berjalan, dan semoga bisa berlari—menyamakan
langkah dengan waktu yang tidak mau menunggu saat ia berhenti.
Sebelum bulan April tahun pertama, kehidupan
Bung berjalan teratur sebagaimana mestinya, pada titik demi titik keseimbangan,
garis pareto optimum. Hingga kemudian dia bersinggungan dengan garis lain.
Cinta selalu bersemi
di tempat, waktu, dan situasi yang tidak terduga. Ia laksana mentari di tengah
temaram; hijau diantara gersang. Cinta tidak pernah datang dengan tiba-tiba; ia
akan mengendap-endap menyusup ke urat nadimu, meledakkan jantungmu, lalu
meninggakanmu terbakar habis bersama bayang-bayangnya (halaman 16).
Hati Bung tanpa izin sudah memilih. Kalau sudah
begitu, yang perlu dilakukan adalah mengucapkan selamat datang dan menikmati roller coaster drama kehidupan. Dengan cinta,
hidup menjadi drama, lebih hidup. Cinta adalah kekuatan yang cukup besar,
mengubah benci menjadi suka, mengubah pelit menjadi dermawan, mengubah sedikit
menjadi banyak, mengubah jauh menjadi dekat, atau sebaliknya. Namun cinta hanya bisa mengubah rasional menjadi irrasional, bukan sebaliknya. Meskipun demikian, cinta tidak pernah salah,
dan bagaimana kita membawa diri saat jatuh pada cinta pun tidak salah--walaupun
selamanya tidak selalu benar. Cinta adalah anugerah, walau entah bagaimana ia
berakhir.
Berbulan, Bung menunggu si dia dengan sabar,
dia yang datang ketika terluka, dirundung sepi atau dalam masalah. Bung dengan
sabar pula mengobati, menemani dan membantu, atas nama kepedulian pada awalnya.
Kemudian dia pergi kembali bersama orang lain, dan Bung hanya diam dan berdoa
dengan perasaan yang tidak bisa dideskripsikan. Sekarang katakan, perasaan
macam apa itu?
Rasa adalah anomali
yang tidak bisa diprediksi. Rasa bisa datang dan pergi kapan pun dia mau. Rasa
bukanlah sesuatu yang porsinya harus sama. Kadang, rasa yang kau beri tidak
berbanding lurus dengan rasa yang kau terima. Maka, ketika rasa untukmu pergi,
berhenti bertanya kenapa itu terjadi. Ubah apa yang masih bisa diubah, lepaskan
apa yang sudah tidak bisa diubah. Bumi tidak pernah berhenti berputar ketika
kau memilih untuk berhenti melangkah (halaman 177).
Berbulan setelahnya, dia datang kembali, tentu
saja dengan luka, sepi dan masalah. Dan, Bung masih saja tidak beranjak jadi
ruang tunggunya. Oh, Bung! Kemudian, seolah doa Bung terjawab, mereka, Bung dan
si dia, mencoba berjalan dengan tujuan yang sama. Mereka mulai
berbagi, walaupun entah siapa yang memberi lebih banyak dan siapa yang menerima
lebih sedikit. Dia mungkin tidak tahu, bahwa Bung mencintainya dengan cara
sederhana yang tidak biasa. Tidak
percaya? Baca saja bukunya.
Ternyata ini bukan akhirnya, tetapi cukup untuk
menjadi akhir. Bukan tidak cukup, tetapi cinta Bung mungkin belum menemukan
tempat yang seharusnya. Karena, siapa sangka, si dia untuk kali berikutnya
menghilang. Dan sudah bisa diduga, untuk kesekian kalinya dan yang terakhir, si
dia memutuskan untuk berhenti, dan menikah. Dengan siapa?
Akhirnya, pada bulan keempat tahun kelima, Bung
benar-benar benar. Bung pun ke gunung, menemui semesta, dari puncaknya jalan terjal yang
telah dilalui sudah sama sekali tidak terlihat menyakitkan, meskipun bekas-bekas
lukanya tetap ada.
Suratku ini telah tiba
pada ujungnya. Ada lara, tawa, kecewa serta cinta yang kutumpahkan di dalamnya.
Rangkaian emosi datang silih berganti, hingga akhirnya tersemat sebuah
keikhlasan (halaman
205).
No comments:
Post a Comment