Aku berdiri di tengah arus manusia yang menyemut dengan langkah bergegas keluar dari gerbong kereta Shinjuku Line.
Fantasy, ditulis oleh Novellina, mengisahkan tentang cinta dan persahabatan. Novel setebal 310 halaman tersebut, menggunakan alur mundur-maju dengan sudut pandang orang pertama dari dua tokoh utamanya, yaitu Davina dan Armitha. Keduanya bersahabat erat sejak duduk
di bangku SMA. Mitha sangat cantik, berambut panjang sepunggung, bergigi
kelinci, dan bermata lebar dengan bulu mata yang super tebal. Berbeda dengan
Vina yang cenderung cuek dengan penampilannya, meskipun pada dasarnya ia cantik
dengan darah Belandanya itu. Vina terlalu malas bahkan untuk sekedar menyisir
rambut, namun dalam urusan akademis Vina dapat diandalkan.
Cerita berawal ketika Awang menemui Vina yang
sedang asyik membaca supernova di perpustakaan, ia meminta dikenalkan dengan
Mitha. Awang menyukai Mitha, tetapi entah mengapa Awang lebih nyaman dan
terbuka dengan Vina. Mitha sempat
curiga kalau Vina menyukai Awang, tetapi Vina bukanlah sahabat yang egois.
“Aku berharap Awang berhasil membuat Mitha
menyukainya. Aku menyukai mereka berdua. Awang sangat menyayangi Mitha dan aku
ingin seseorang yang terbaik untuk sahabatku.” (halaman 35)
Namun hati bukan tidak berubah, seberapa kuat
pun dikontrol ia akan bergerak mengikuti alur jalannya. Kemudian, hati-hati
yang ditakdirkan untuk saling melengkapi, akan saling mencari dan menemukan.
Begitupula dengan Awang, tidak ada yang menghendaki ketika pada akhirnya
perasaan Awang berubah haluan di saat Mitha benar-benar jatuh hati padanya, pun
dengan Vina.
“Aku juga tidak tahu bahwa Awang selama ini
adalah udara bagiku, alasan mengapa aku melakukan banyak hal akhir-akhir ini.
Aku juga tidak tahu bahwa Awang adalah seluruh panca inderaku, ia menuntunku
menjadi manusia yang lebih baik, bukan hanya Mitha, seorang anak SMA biasa.”
(halaman 124)
Cinta memang ajaib, diakui ataupun tidak, Mitha
yang sebelumnya sama sekali tidak tertarik dengan musik klasik menjadi sangat
bersemangat mendalami piano, karena Awang. Mereka berdua mendaftar sekolah
musik milik pianis yang sudah berkiprah di kelas internasional, Fantaisie Music School. Awang dan Mitha beberapa
kali menjadi patner saat melakukan showcase,
hingga pada akhirnya Awang memutuskan untuk mengambil beasiswa sekolah musik ternama di dunia, yaitu di Tokyo
University of Arts. Tentu saja, Awang meminta persetujuan Vina lebih dahulu, dan dengan berat hati Vina mengiyakan keinginannya
tersebut. Mitha tidak habis pikir dengan keputusan Vina.
"Kamu
tahu mengapa persahabatan kita sangan berbeda dengan persahabatan orang lain?
Karena Tuhan sudah menggariskan jalan hidup kita. Bahwa kita akan menyukai
laki-laki yang sama. Laki-laki yang memasuki kehidupan kita secara bersamaan,
dan Tuhan memberi kita hati yang besar, dan sedikit hormon sehingga kita
tidak akan pernah bertengkar memperebutkannya.” (halaman 125)
“Aku berbeda dengan Vina, Hati yang besar
hanyalah sebuah penyiksaan diri. “Kenapa kamu membiarkannya pergi jika kamu
sangat mencintainya?” Because I love
him so much and it hurts.” (halaman 125)
“Suatu hari aku akan bertemu dengannya lagi,
entah hanya untuk mengucapkan selamat tinggal lagi atau bersama kembali. Hari
itu akan datang. Hari di mana kita kan menjalin takdir kita dengan takdirnya
lagi. Love doesn’t conquer all, faith
does” (halaman 127)
...
Tujuh tahun kemudian, yaitu pada tahun 2012.
Semuanya berubah. Mitha menjadi sangat membenci Vina. Baginya Vina adalah peruntungan buruk, Vina telah
menghancurkan semua mimpi-mimpinya. Kecelakan itu, terjadi empat tahun yang
lalu telah membuat Mitha lumpuh, terlihat menyedihkan—setidaknya anggapannya
bagi dirinya sendiri. Mitha enggan bertemu dengan orang lain,
terutama Vina yang seolah menghasihani ketunaannya. Selama itu pula Mitha
mengurung diri di dalam kamar.
Sementara itu, Vina yang saat itu bekerja pada
sebuah lembaga pers sudah kehabisan cara bagaimana menghidupkan kembali
semangat hidup sahabatnya, yang menolak mentah-mentah menemuinya. Untuk itulah,
dia terbang ke Tokyo, menemui Awang, untuk Mitha.
“Tidak ada yang lebih menyedihkan selain saat
seseorang kehilangan harapan. Ketika seseorang bahkan tidak sanggup memimpikan
sesuatu. Kupikir aku tidak akan berhenti berharap, dan akan baik-baik saja
selama itu. Kupikir aku tidak akan pernah putus asa. Namun ketika menatap
diriku sendiri, aku tidak bisa mengenali diriku lagi” (halaman 133)
Pada puncaknya, dengan bantuan Awang dan
rekannya, Mitha kembali bermain piano bahkan mengikuti kompetisi internasional,
menjadi salah satu kompetitor Awang, sesuai janji mereka berdua saat masih SMA. Keduanya
berhasil memasuki babak final. Saat itu pulalah, kebencian Mitha kepada Vina
mencapai puncaknya.
“Ternyata kamu tidak pernah berubah. Tidakkah
kamu sadar semua orang telah berubah? Mitha yang kamu kenal sekarang bukan
Mitha yang kamu kenal dulu.” (halaman 215)
“Aku menjahuimu karena aku muak dengan
kenaifanmu, dengan kamu yang selalu berusaha membantuku keluar dari kesulitan
hidupku, dan merasa mengetahui apa yang paling baik untukku dan bertidak
seperti malaikat tanpa kuminta! Dari awal kamu hadir dalam hidupku untuk
merusak kebahagiaanku. Kamu merebut Awang dari dariku, membiarkannya pergi dari
sisiku delapan tahun lalu, dan membuatku lumpuh. Tidakkah semua ini cukup
menyadarkanmu untuk pergi dari kehidupanku?” (halaman 216)
Pada saat yang bersamaan, dalam kondisi di mana
cinta Mitha pada Awang yang sangat tidak terkendali dan Vina yang meragu antara
berkorban untuk sahabatnya atau memperjuangkan cintanya, tanpa disadari Awang memberikan
cintanya pada dua orang yang pernah bersahabat tersebut, meskipun dengan
proporsi yang berbeda. Mereka harus memilih.
“Aku tertegun. Walaupun aku tahu jauh di lubuk
hatinya, Awang sangat menyayangi Mitha, ketika mengetahui jika mungkin saja
Awang mencintai Mitha, aku tidak siap menerimanya.” (halaman 277)
“Karena aku tidak ingin kehilangan Awang lagi,
Mit,”potongku dingin” (halaman 278)
“Pilih, Awang. Kamu nggak bisa memiliki kami
berdua sekaligus, “kataku akhirnya dan Mitha sekali lagi menyambutku dengan
tawa menghina.” (halaman 281)
Bukan, ternyata bukan mereka yang memilih,
tetapi takdir…
No comments:
Post a Comment