Penulis: Mushonah Mujahidah
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Selagi hati masih
menjadi komponen yang ada dalam diri manusia, cerita tentangnya akan terus
mengalir. Sekuat apa pun usaha seseorang untuk menepisnya, perasaan akan tetap
ada. (Tetes Kedua,
hamanan 3)
Buku ini merupakan kumpulan cerita dan prosa
yang terinspirasi dari kehidupan sehari-hari penulis. Percakapan seorang Ibu
dan anak laki-lakinya, percakapan seorang ayah dengan anak perempuannya, percakapan
seorang adik perempuan dengan laki-lakinya, percakapan seorang laki-laki dengan
dirinya sendiri, juga percakapan seorang perempuan dengan dirinya sendiri. Ada hikmah
yang berusaha diselipkan pada setiap bagiannya.
Pandanglah masa lalu sesekali, seperti spion,
agar tidak jatuh pada kesalahan yang sama, tetapi tetap fokus ke depan. Belajar
melepaskan, melepaskan tuntutan, emosi, target, keinginan yang menyita fokus pikiran
dan hati. Melepaskan tidak akan mudah, karena berarti harus siap merelakan dan
mengikhlaskan. Namun setelah itu, hati akan lapang. Belajar mendengarkan, sebab
bukan kebetulan Tuhan menciptakan sepasang telingga dan mulut satu. Belajar
berbahagia, dengan belajar mensyukuri hal-hal paling remeh sekalipun.
Jika kehidupan adalah seperti pelayaran menuju
dermaga, tentu ada berbagai ukuran perahu dengan berbagai macam bahan. Ada yang
terlihat ringkih seperti tak mampu bertahan dari apa pun. Namun belum tentu
perahu yang besar dari bahan terbaik dapat bertahan. Ada Allah yang memampukan,
menguatkan atau melemahkan.
Apa yang membuatku(mu) terus berdoa dan tak
berhenti berharap? Karena hari esok akan datang, dengan segala kemungkinan
terbaik, dengan segala jawaban atas pertanyaan-pertanyaan.
Tentang perempuan dan laki-laki. Keduanya
adalah ujian satu dengan yang lain, sebelum akad. Perempuan adalah makhluk
serius, hatinya seperti gelas kaca. Teruntuk laki-laki, jangan terlalu ramah.
Laki-laki hatinya seperti bola basket, semakin tinggi jatuh akan semakin tinggi
memantul. Namun, teruntuk perempuan, jangan terlalu baik.
Kalian, jangan pernah
bermain dengan asumsi dan janji, hingga kalian saling me(di)temukan.
Perasaan kita berdua
laksana air dan api. Kita tidak bisa saling mendekat. Karena jika mendekat,
kita akan saling menghabisi satu sama lain. Pada akhirnya melukai satu sama
lain. Lalu, Tuhan memperkenalkan sebuah alat yang dapat mempersatukan perasaan
kita. Namanya teko. Kita bisa saling bersinergi untuk menciptakan air hangat
maupun panas. Namun selagi belum dipersatukan oleh teko itu, kita tetaplah asing
satu sama lain
(Jarak antara kita, halaman 51)
No comments:
Post a Comment