Penulis: Asma Nadia
Penerbit: AsmaNadia Publishing House
Merupakan novel pertama dari Asma Nadia yang
aku baca—yang sebenarnya terbitan tahun 2015. Ketingggalan sekali, bukan? Hiks.
Nama Asma Nadia sudah lama cukup akrab, tapi baru kali ini tergerak membaca
novelnya. Sebelumnya aku pernah menonton film dari buku Assalamu’alaikum
Beijing dan Surga yang Tak Dirindukan 1 dan 2. Awalnya aku enggan karena
mengira bakal menye-menye, tapi
ternyata BAGUS BANGET! Novel ini ditulis dengan alur mundur maju, yang sangat mengalir dan penuh kejutan. Banyak pelajaran dan pengingat di dalamnya. Terima kasih Bunda Asma, telah menulis dan menginspirasi.
Rania, adalah anak ketiga dan terakhir dari
sebuah keluarga sederhana di pinggir rel kereta api Gunung Sahari. Rania adalah anak yang paling
dekat dengan ayahnya—mungkin karena semasa kecilnya yang sering sakit-sakitan.
Rania kecil suka berlari mengejar kereta api yang kebetulan melaju cepat sembari
membayangkan dirinya dalam gerbong-gerbong yang membawanya terbang ke negeri
dongeng—setidaknya begitu selalu kata papanya dengan yakin.
“Ketika kecil, kami tinggal di samping rel kereta api. Setiap kereta lewat, Papa selalu bilang suatu saat kereta-kereta itu akan menerbangkan saya ke negeri seribu kisah” (halaman 173)
“Ketika kecil, kami tinggal di samping rel kereta api. Setiap kereta lewat, Papa selalu bilang suatu saat kereta-kereta itu akan menerbangkan saya ke negeri seribu kisah” (halaman 173)
Dan terbukti, tidak ada yang mustahil apabila
Allah berkehendak. Rania yang harus berhenti dari kuliah karena masalah
kesehatan telah menjadi penulis best seller
dan berkesempatan menjelajah ke berbagai negara. Tentu saja ada masa-masa yang
tidak mudah untuk Rania lewati. Ia penulis dan dia pernah melewati lebih kurang
satu tahun tanpa menyentuh keyboard
komputer sekalipun.
“Sepasang matanya akan dengan cepat mengembun
setiap mengingat hal ini. Tetapi jika terus memikirkan penyakit, dia akan
kehilangan kemampuan mensyukuri begitu banyak hal manis. Deret kebaikan Allah
yang terus menyapanya detik demi detik. Di layar laptop, Rania menulis kalimat
berikut dengan huruf capital: JANGAN ARAHKAN SUDUT PANDANGMU PADA SESUATU YANG
BELUM TENTU BISA KAU LIHAT. ITU HANYA AKAN MELEMPARKANMU PADA KETERASINGAN DI
MANA RASA SYUKUR HANYA SEBATAS DI UJUNG LIDAH.” (halaman 186)
Nepal, negara seribu Dewa menjadi titik awal
pertemuannya dengan Hyun Geun—seorang traveler asal Korea setelah insiden
pencopetan tas Rania. Nepal mengingatkan Rania akan dua hal, yaitu kejadian
saat ia memecahkan magnet kulkas pamannya dan saat papanya meninggal.
“Bagi traveler, kehilangan sesuatu di perjalanan, pasti pahit, bahkan bisa merusak semua rencana yang telah disusun. Tapi keikhlasan akan membuat satu dua kehilangan atau peristiwa tak diinginkan—yang sangat mungkin terjadi—tak menguapkan semua keceriaan selama perjalanan.” (halaman 253-254)
“Bagi traveler, kehilangan sesuatu di perjalanan, pasti pahit, bahkan bisa merusak semua rencana yang telah disusun. Tapi keikhlasan akan membuat satu dua kehilangan atau peristiwa tak diinginkan—yang sangat mungkin terjadi—tak menguapkan semua keceriaan selama perjalanan.” (halaman 253-254)
Ternyata, pertemuan tersebut menjadi awal sederet
pertemuannya dengan Hyun Geun, ketika akhirnya Rania memutuskan mengikuti
program Writers in Residence selama
enam bulan di Korea. Dengan kamera saku yang sama saat di Nepal, Rania
mengeksplor Seoul—kota terbesar dan teramai di Korea. Rania yang sedikit
belajar lebih banyak tentang fotografi sejak bertemu dengan Hyun Geun, mulai
membenarkan saran yang dia terima untuk berganti ke DSLR.
"But the camera is just a tool, Rania. It’s the eye of a person behind it that matters." (halaman 159).
"But the camera is just a tool, Rania. It’s the eye of a person behind it that matters." (halaman 159).
Hinga kemudian, Ihsan–tetangga sekaligus
sahabat Rania selama 8 tahun di Indonesia menyusul terbang ke Korea. Menyambung
perjalanan dari bandara Incheon, Seoul dengan kereta cepat KTX ke Busan. Ini
adalah pertama kalinya Ihsan naik pesawat—pesawat menjadi trauma tersendiri
bagi Ihsan sejak mamanya meninggal dalam kecelakaan pesawat. Mengapa?
“Allah menciptakan manusia, sempurna dengan
ketidaksempurnaannya. Alhamdulillah” (halaman 261)