Aku cemburu kenapa hujan tak kunjung datang
Padahal di kota sebelah dedaunan telah kembali menghijau
Panas, gersang, seraknya abu kian memudah
Namun tidak di kotaku
Hujan seolah enggan datang
Tak hanya aku, pepohonan tertunduk merana dalam penantian
Aku tak mengerti bahasa diam mereka
Entah mendoa, menangis atau mengumpat, aku tidak tahu
Yang aku itu adalah penerimaan mereka, teramat berbeda denganku
Ku ceritakan:
Sebelum hujan abu mengguyur indah hijau semai daun mereka
Guyuran hujan pernah berhari-hari membasahi daun kecil mereka
Dulu, panas kerontang mentari berbulan memanggang ringkih tipis daun
mereka
Hingga indah mahkota mereka, layu, kuyu, berguguran
Dan bahkan ada sebagaian dari mereka yang tumbang dalam penantian
Namun ketabahannya, mereka tetap berdiri
Menatap dunia, bahkan tanpa masker, payung, jas hujan atau atap
yang sekiranya bisa melindungi mereka dari debu, air atau panas yang
berlebih
Dan tak pula terdengar keluh mereka,
kecuali ritme nada dari dedaunan mereka yang saling bergesek
menyampaikan rasa gembira, duka, atau mungkin nelangsa
Aku tak tahu, kecuali bisu memang bahasa mereka
Sungguh penerimaan yang mengharukan
Hingga, semalam hujan deras pun datang
Memenuhi harapanku dan pohon pohon itu
Kini aku nelangsa,
Seminggu ini aku seharusnya tak perlu menguras energi,
untuk cemburu
jika aku memiliki pemahaman seperti pepohonan itu
Dengan segala keterbatasannya bahkan pepohonan itu lebih memahami,
bahwa Allah telah merencanakan yang terbaik untuk makhluk-Nya
Allah telah memutuskan rencana-Nya sebelum manusia itu ada.
Sehingga aku bahkan tak berhak untuk cemburu
Kecuali melakukan penerimaan, penerimaan yang indah*
*Terinspirasi dari Tere Liye. Daun yang Jatuh Tidak Membenci Angin
No comments:
Post a Comment