Penulis: Asma Nadia
Penerbit: AsmaNadia Publishing House
Asma, Ashima, Ra adalah Asmara. Undangan baru
beberapa hari selesai dicetak dan siap disebarkan, namun Dewa tidak bisa meneruskan ke tahap selanjutnya—pernikahan mereka batal. Semuanya terjadi begitu
saja, sama sekali diluar perkiraan. Bukan karena Dewa tidak mencintainya. Mereka
sama-sama terluka. Ini bukanlah akhir, justru baru permulaan (hal-hal yang
tidak diharapkan yang lain).
Cinta sejati hanya mitos, keluhnya. Mimpi.
Kisah pengantar tidur yang ditiup-tiupkan mereka yang belum pernah sakit hati.
Semata dongeng penulis fiksi yang hanya mampu berkisah tentang romantisme
murahan. Ya, cinta sejati itu hanya fiksi. (Halaman 76)
Asmara memutuskan menerima tawaran untuk
menggantikan seniornya ke Beijing. Disitulah dia mengetahui cerita cinta Ashima
yang konon melegenda di masyarakat Tiongkok, dari Zhongwen—teman barunya.
Legenda itu mengisahkan Ashima dan Ahei yang saling mencintai, dan tentu saja
berakhir tragis. Mungkin alurnya sengaja ditakdirkan seperti itu, agar
berkesan, agar dapat menjadi bahan cerita di kemudian hari.
Antisphospholipid
Syndrome (APS)
primer, sindrom yang akan selama ada di dalam tubuh Asmara, membuatnya rentan
mengalami penyumbatan darah. Resikonya bermacam-macam (dan beganti-ganti), seperti stroke, serangan
jantung, gagal ginjal, buta, tuli dan yang lain, tergantung bagian tubuh mana
yang tersumbat. Hal yang paling berat bagi Asmara adalah, dia berisiko jika
harus mempunyai anak jika ia menikah nanti. Bukan meragukan kekuasaan Allah,
namun dia tidak bisa membayangkan laki-kali (suaminya nanti) hanya akan sibuk
keluar masuk rumah sakit menemaninya berobat. Dan tentang mempunyai anak … Namun, bukan Asmara jika sedih membuat dia
berhenti menulis.
Kita tidak bisa menghindari takdir yang Allah
berikan, tetapi bisa memilih cara bagaimana menghadapinya. (Halaman 242)
Sementara itu, Anita sudah tidak memiliki
harapan lagi untuk menggantikan Asmara di hati Dewa, meskipun usia kehamilannya
makin tua. Dia memutuskan mengakhiri hidupnya dengan meminum beberapa genggam
obat-obatan.
Zhongwen, dengan berbagai kendala yang ada
akhirnya memutuskan untuk pergi ke Indonesia. Asmara sadar, namun tidak
mengingat apa pun setelah koma selama dua minggu. Selanjutnya, selama dua tahun
dia rutin ke rumah sakit.
Sebagai informasi, buku ini juga difilmkan—ada
beberapa bagian yang tidak sama dengan buku (kesamaanya sekitar 80 persen.)
Seperti biasanya, aku lebih menyukai buku daripada filmnya. Namun keduanya
sama-sama BAGUS.