Rabu, 16 Agustus 2017
Akhirnya aku memutuskan untuk jalan-jalan (atau
lebih tepatnya kabur) ke Surabaya. Cukup impulsif, dan mungkin bukan keputusan
yang tepat mengingat Surabaya bukanlah destinasi prioritas untuk jalan-jalan. Selain
itu, berpergian ditengah penyusunan laporan triwulanan ternyata cukup menyita
pikiran dan energi—dimana harus lembur lebih kurang empat hari sebelumnya agar
bisa kabur dengan tenang (tapi realitanya tidak juga). Hahaha. Namun demikian, tidak
salah pergi ke Surabaya, karena di Surabaya aku bertemu dengan teman-teman
terbaikku. Kata orang sih bukan kemana-nya, tetapi dengan siapa-nya.
Aku berangkat dari kantor cukup mepet, ditambah
sedikit bermacet-macet di jalan, aku terpaksa harus berlari-lari agar tidak terlambat
masuk ke gerbong. Aku duduk di gerbong nomor 6, kursi 3B. Untuk kereta
Bangunkarta, kursi duduk tersebut relatif strategis, karena tidak terlalu dekat
dan terlalu jauh dengan toilet dan pintu keluar. Selain itu, gerbong nomor 6
juga cukup dekat dengan resto—seumur-umur naik kereta aku belum pernah ke
resto. Kereta juga menyediakan selimut, meskipun saat itu AC-nya tidak terlalu
dingin. Sayangnya, tidak ada meja lipat di kursi duduknya, sehingga agak
menyulitkan ketika mau makan atau kerja (ditulis dengan huruf kapital, bold dan underline “KERJA”).
Akhirnya, pukul 15.00 WIB persis keretaku berangkat.
Di sampingku duduk seorang bapak-bapak, kalau
tidak salah ingat namanya Sumarno. Dari apa yang dibicarakan, aku yakin beliau
bukanlah sembarang orang. Kami membicarakan mulai dari Bapp*nas, berita-berita
terkini (wuih terkesan up to date
yak), sampai agama. Sayang sekali, aku tidak jadi meminta bertukar kontak dengan
beliau. Terlepas dari latar belakang beliau, hal yang cukup terus aku ingat
adalah pikirane kudu resik, niate apik, lakune becik¸(pikirannya harus
bersih, niatnya bagus dan perilakunya baik) agar bahagia. Falsafah hidup yang
sederhana, tidak muluk-muluk, tetapi tidak mudah untuk dipraktikan.
Kamis, 17 Agustus 2017
Singkat cerita, setelah menghabiskan lebih
kurang 12,5 jam di dalam kereta dengan mengobrol, tidur, dan mati gaya,
akhirnya pukul 04.00 WIB aku sampai di Stasiun Gubeng, Surabaya. Setelah sholat
Subuh dan tidur beberapa jam di kostan temanku, Ima, yang terletak di Jalan
Embong Kenongo, sekitar pukul 09.00 WIB kami berdua bersiap berangkat ke
Malang. Tujuan kami adalah ke Masjid Tiban Malang, konon disebut masjid tiban
karena masjid yang megah dengan sepuluh lantai tersebut tiba-tiba berdiri di
tengah pemukiman warga. Menurut beberapa sumber, masjid tersebut sebenarnya
adalah pondok pesantren yang dibangun secara bergotong royong swadaya oleh
santri dan jamaah, sehingga tidak banyak pihak luar yang mengetahui proses
pembangunan masjid tersebut. Masjid berlokasi di Desa Sananrejo, Kecamatan
Turen, Malang atau dapat ditempuh sekitar 5 jam dari Surabaya dengan mobil.
Lokasi masjid dapat terdeksi oleh google map, walaupun memang agak
“masuk”, sehingga kami harus bertanya kepada warga. Warga sekitar menyediakan
tempat parkir kendaraan, meskipun ternyata di dalam komplek masjid juga
tersedia. Dari lokasi parkir warga, kami berjalan sekitar 50 meter atau sekitar
5 menit. Di sepanjang jalan, berjajar pedagang berbagai makanan kecil dan
oleh-oleh, dengan harga yang relatif sangat terjangkau. Kami agak terkejut,
ketika di tengah jalan seorang anak kecil yang menawarkan plastik untuk tempat
sepatu kami saat memasuki masjid dengan harga yang sangat murah, lima ratus Rupiah!
Penampakan masjid tersebut adalah perpaduan
antara gaya Timur Tengah, Tiongkok dan modern. Tampak bagian depan masjid
adalah ornament Timur Tenggah dengan warna dominan biru dan putih. Di bagian
dalam lantai dasar masjid terdapat banyak sekat ruangan, dengan berbagai
peruntukan. Misalnya mushola, tempat wudhu, tempat istirahat, kolam yang
terpisah antara putra dan putri; ruang tamu; ruang akuarium dan sebagainya. Menurut
beberapa sumber, lantai satu dan empat digunakan sebagai tempat kegiatan para
santri; lantai enam sebagai ruang keluarga; lantai tujuh dan delapan sebagai tempat
toko-toko cinderamata yang dikelola santri.
Pengunjung yang datang dapat langsung ke dalam
masjid untuk mencatatkan diri dan mengambil kartu tamu. Kartu tersebut nanti
harus dikembalikan ketika akan meninggalkan masjid. Mungkin kartu tersebut
lebih difungsikan sebagai pendataan saja, karena pengunjung tidak perlu
membayar (tetapi boleh kalau mau berinfak).
Secara keseluruhan bagunan masjid masih belum
sepenuhnya selesai, lebih kurang sekitar 40 persen masih dalam pengerjaan. Seperti
pada kebanyakan masjid yang lain, di dalam masjid sangat adem, dari lantai
dasar sampai lantai atas. Kami menghabiskan waktu lebih kurang tiga jam untuk
sholat, berfoto dan mengelilingi masjid.
Menjelang sore, kami memutuskan untuk kembali
ke Surabaya dengan sebelumnya mampir ke Bakso Bakar Pak Man yang lokasinya
tepat di pinggir jalan, apabila tidak salah di Jalan Diponegoro. Bakso Bakar
Pak Man merupakan salah satu kuliner yang direkomendasikan beberapa sumber yang
wajib dicoba bila sedang berkunjung ke Malang. Tempat berjualan yang digunakan
tidak terlalu besar dan relatif sederhana, namun pada saat itu sangat ramai. Selain
bakso bakar, juga disediakan bakso kuah, namun hanya disediakan satu jenis
minuman yaitu teh bot*l sos*o. Pada waktu itu, stok tehnya sempat kehabisan,
maklum bakso bakarnya pedas.Hahah
Selesai makan, kami tidak bisa berlama-lama di
sana karena sudah ada yang mengantri tempat duduk. Akhirnya, kami memutuskan
untuk pulang, tetapi sebelumnya mampir membeli sempol—aku lupa dimana. Sempol
itu adalah semacam siomay kecil-kecil yang ditusuk seperti sate, lalu digoreng
setelah sebelumnya dicelupkan ke dalam telur. Harga untuk satu tusuknya adalah
lima ratus Rupiah. Kami masing-masing membeli sepuluh tusuk, dan ternyata
mengenyangkan.
Oh iya, kami juga mampir ke Malang Strudle. Itu lho, leholeh khas Malang punyanya Teuku Wisnu. Kami membeli beberapa macam keripik buah, bukan strudel. Perilaku antimainstream yang agak gevleg sih sebenarnya. Hahah