Sunday, August 21, 2016

Dirgahayu!

Terima kasih para pejuang--baik yang dikenal sebagai pahlawan maupun yang tidak, sehingga 71 tahun setelah bertahun estafet marathon perjuanganmu, aku dapat merasakan apa yang orang pada umumnya menyebut "kemerdekaan". Terima kasih, bagi kalian yang lebih dulu berjuang, yang tidak dikenal, yang penuh ikhlas mengorbankan apa yang diperlukan demi agar teks proklamasi dapat dibacakan dan digemakan di republik ini.

Kemerdekaan seharusnya membuat merdeka, sehingga tak ada yang didapatkan kecuali keadilan bukan?
Akan tetapi, ternyata kalian sudah paham jauh lebih dulu, dan sekarang aku baru mengerti, berharap dan berusaha mencari dan mendapatkan keadilan di republik ini, di dunia ini adalah hal yang menguras waktu, tenaga dan jiwa dari pada apa yang disebut keadilan itu akan adil bagiku. Jangan coba membuatku memahami bahwa keadilan di dunia tidak lebih dari ilusi, yang terkadang membuat lupa untuk menggantungkan perbuatan dan balasan hanya pada pemilik kehidupan. Dan itu sangat melelahkan. Dunia memang terlalu nyata hingga membelenggu jiwa, dan apalah arti raga tanpa jiwa yang merdeka.

Atau jangan-jangan aku memang harus terus berjuang, sebab seorang pernah berkata bahwa kemenangan (baca: kemerdekaan) hanyalah untuk mereka yang berjuang. Dan tidak ada kata lelah dalam kamus seorang pejuang. Pejuang tidak akan pernah berhenti, sebab perjuangan tidak akan pernah selesai.

Selamat 71 tahun Indonesiaku, semoga jiwa-jiwa aman dalam dekapanmu sehingga merdeka untuk memilih, mengikuti nurani tentang benar dan salah, lepas dari dikte dan dogma dunia.

Aku bukan sedang mencoba menggurui, memaknai apa arti merdeka.
Hanya saja ketika menjelang tanggal 17 Agustus, saat nuansa merah dan putih menghiasi setiap sudut republik ini--setidaknya sudut yang mampu kulewati dengan berjalan kaki atau menggonceng sepeda motor atau sesekali naik mobil sewaan, ada sebongkah rasa yang menyeruak di dada, memberikanku bayangan tentang peristiwa yang belum pernah aku lewati sama sekali. Adalah saat dimana teriakan merdeka atau mati menjadi begitu menggetarkan, atau teriakan allahu akbar saat tangan memegang erat sepotong bambu yang diruncingkan dengan bergelang janur kuning mampu mengeluarkan kekuatan dan keberanian yang maha. Saat itu hanya ada kata kita, kita adalah aku dan kamu yang disatukan dengan cinta. Meski ternodai dengan sekali dua kali penghianatan tikus-tikus penghamba sepotong keju untuk dia kerat. Meski sebagian tikus itu saat ini tetap hidup di gorong-gorong selokan atau di kolong meja saat republik ini sudah merdeka, dan tetap mengerat. Bah!

Masih dalam nuansa kemerdekaan, sebentar, coba ku kutipkan tulisan Kahlil Gibran untukmu. Begini ceritanya, Kahlil Gibran kutemukan saat aku sedang merasa terlalu lelah untuk melakukan sesuatu tetapi terlalu bosan untuk tidak melakukan apapun. Sementara itu, teman-teman di kota kelahiranku sedang sibuk berkegiatan dalam kerangka kemerdekaan RI--yang dulu sebelum merantau aku ada di tengah-tengah mereka. Sementara, teman-temanku di kota juga tengah sibuk dalam rangka acara yang sama dengan cara mereka. Dan aku iri jika harus diam dan sendiri. Dan aku benci jika harus menderita iri.

Begini dia menulis," Dan aku telah menemukan kekebasan dan keamanan dalam kegilaanku. Kebebasan kesendirian dan keamanan dari menjadi mengerti. Karena yang mengerti kita memperbudak sesuatu dari diri kita"

Masih tentang Gibran, membaca sedikit dari sekian banyak tulisannya membuatku merasa, yang saat ini aku tidak tahu harus mendefinisikan seperti apa. Bahkan jauh sebelum republik ini lahir, Gibran menuliskan paragraf-paragraf berikut.

"Jiwa penuh kepedihan menemukan ketenangan ketika bergabung dengan yang serupa. Mereka bersatu dengan penuh kasih sayang, bagaikan seorang asing yang diceriakan ketika ia melihat orang asing lain di tempat asing. Hati yang bersatu melalui perantara penderitaan tidak akan dipisahkan oleh kejayaan kebahagiaan. Cinta yang dibersihkan air mata akan selamanya murni dan indah."

Di paragraf yang lain ia menuliskan.
"Namun penyair adalah orang-orang yang tidak bahagia, karena betapa pun tinggi jiwa mereka , mereka akan terus tertutup dalam bungkus air mata"

Dan satu lagi, yang mungkin bisa sebagai pengingat bagi yang lupa.
"Setiap kali aku pergi ke ladang, aku kembali dengan kecewa, tanpa pemahaman apa yang menjadi penyebab kekecewaanku. Setiap kali aku memandang langit kelabu, aku merasa hatiku bedebar. Setiap kali aku mendengar nyanyian burung dan ocehan musim semi, aku menderita tanpa mengerti alasan penderitaanku. Katanya keburukan membuat seorang manusia merasa hampa dan kehampaan membuat dia riang. Mungkin benar untuk mereka yang lahir, mati dan yang seperti mayat membeku, namun pemuda sensitif yang merasakan banyak hal dan mengetahui paling sedikit adalah makhluk paling menyedihkan di bawah sinar matahari, karena dia dicabik oleh dua kekuatan. Kekuatan peryama adalah kekuatan yang mengangkatnya dan menunjukkan kepadanya keindahan keberadaan melalui awan mimpi, dan kekuatan kedua adalah yang menarik ia ke bawah tanah dan mengisi matanya dengan debu dan memperkuatnya dengan ketakutan dan kegelapan."

Lalu, akhirnya aku tahu bahwa Kahlil Gibran adalah satu penyair legendaris yang lahir pada tahun 1883 di Lebanon--yang baginya cinta adalah sesuatu yang agung, abadi, menggelorakan jiwa sekaligus mengiris hati.

Tanggal 17 Agustus adalah momen di mana kibaran bendera merah putih diantara biru putihnya angkasa yang berawan terasa mendebarkan, mengharukan, membanggagakan. Gagah.
Juga adalah waktu di mana aku selalu tak pernah berhasil membayangkan bagaimana perasan para komposer berbagai lagu-lagu wajib dan lagu-lagu nasional ketika mencipta lelagu tersebut. Aku hanya mampu mendengar dadaku bergemuruh ketika berulang lagu itu berdendang di daun telingga. Ada perasaan yang tidak terdefinisikan. Dan aku mengandai-andai tentang republik ini.

Dan juga adalah waktu di mana harus memerdekakan jiwa. Membiarkan mengikuti intuisi ke mana pergi mengajak.
Siapakah yang jiwanya paling merdeka? Ini bukan pertanyaan retoris, sebab meskipun aku tak berharap pertanyaan ini dijawab dan meskipun aku tak tahu jawabannya.

Dirgahayu!

Monday, August 1, 2016

Harga di Bulan Juni

Hujan di Bulan Juni
(Sapardi Djoko Darmono)
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan di bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan di bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif dari hujan di bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu



Harga di Bulan Juni
Ku sampaikan padamu, Sapardi Djoko Darmono
Aku, penikmat banyak karyamu
Tak semua katamu mampu ku cerna memang, tapi aku belajar
Maka kali ini ku ceritakan padamu
Di bulan Juni tahun ini, hujan enggan menyapa
Ku kira ia lebih kuat menahan rindu pada tanah-tanah kering yang pun merindunya
Atau dia sedang mengulur rindu pepohonan yang merana meranggas,
menyisakan batang dan dahan dalam sepi,
Pun mempermainkan rindu bebijian dan umbi yang menanti untuk mencuat tumbuh merekah,
Ku ceritakan padamu diam-diam,
Agar bisa kau katakan pada hujan di bulan Juni agar datang di bulan depan,
Juli atau Agustus atau September atau Oktober
BMKG memprediksi pada keempat bulan tersebut, hujan akan lebat
La Nina,
hujan lebat berkepanjangan,
Diperkirakan muncul mengikuti El Nino yang terjadi tahun lalu
El Nino itu kemarau berkepanjangan
Jadi ku ceritakan padamu
Bukan lagi tentang hujan, tapi tentang harga di bulan Juni
Bulan Juni,
bulan Ramadhan dan jelang tahun ajaran baru,
Pengeluaran rumah tangga membengkak, belanja berkali lebih banyak
Gaji ketiga belas, meningkatkan permintaan barang dan jasa
Terjadi shortage of supply, harga meningkat
Namun, belum terlalu panjang untuk disebut inflasi
Harga di bulan Juni
Representasi roda perekonomian berputar lebih cepat, komentar seorang mahasiswa
Roda yang menggilas daya beli penduduk berpendapatan terbatas, kata seorang kolumnis
Indikator waktu,
kapan pengambil kebijakan perlu (atau tidak) memberikan stimulus, kata seorang ekonom
Namun, bagi sepersekian penduduk Republik ini tak merasakan perbedaan pada harga di bulan Juni
Hanya saja, pengeluaran mereka menjadi lebih banyak
Ini sudah akhir bulan Juli ternyata,
Maka kutanyakan padamu
Apakah kau rasakan perbedaan harga di bulan Juni?